
Kemudian suaranya tidak terdengar lagi dan lisannya tak mampu lagi bertutur kata, dia tersungkur ke lantai dan sejenak tak bergerak. Selang kemudian orang itu bangun kembali dan melanjutkan munajatnya.
"Ya Allah! Siapakah yang lebih bersalah dariku? Siapakah yang lebih berdosa dariku? Ya Allah! Apakah akhirnya Engkau akan membakarku dengan api neraka-Mu? Lantas bagaimana dengan harapanku? Bagaimana dengan rasa takutku? Bukankah Engkau sendiri telah berjanji siapa saja yang menggantungkan harapannya kepada-Mu, niscaya Engkau tak akan membuat dia putus asa. Kini aku berharap kepada-Mu, maka ampunilah aku, karena ampunan-Mu adalah harapanku."
Setelah munajatnya ini, tidak terdengar lagi suaranya, kemudian aku menghampirinya. Ternyata orang itu adalah tuanku, Imam Al-Sajjad (julukan lain bagi 'Ali Zainul 'Abidin). Aku segera letakkan kepala beliau ke pangkuanku, maka dengan melihat kondisi beliau, air mataku menitik dan mengenai wajah beliau yang bercahaya sehingga beliau pun membuka matanya dan berkata, 'Siapa engkau ini?'
Kujawab, "Aku Ashmu'i, pelayanmu. Tuan, kenapa merintih seperti ini, padahal Tuan adalah manusia suci dan terjaga dari dosa-dosa! Tuan, bukankah syafa'at itu milik kakekmu, Rasulullah saw dan keluargamu? Bukankah ayat tathhir (surah Al-Ahzab ayat 33) diturunkan tentang kalian? Kenapa harus menampakkan penyesalan seperti ini?"
Imam berkata, "Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah telah menciptakan surga bagi siapa saja yang menghamba dan ber-taqwa kepada-Nya? Maka beruntunglah, meskipun dia seorang budak berkulit hitam. Dan Allah menciptakan neraka Jahannam untuk siapa saja yang berdosa, meskipun dia seorang yang dipandang sayyid dari Quraisy atau seorang yang paling dimuliakan manusia di muka bumi."
Dari cerita di atas bisa kita petik pelajarannya bahwa siapa saja yang lebih ber-taqwa akan menganggap dirinya lebih hina di hadapan Allah. Dan juga untuk memperoleh ampunan dan rahmat Allah jangan bersandar kepada silsilah keluarga, suku-bangsa dan kedudukan.
Wahai Tuhanku! Lindungilah mereka yang tak memiliki perlindungan.
Pandanglah mereka yang lemah ini!
Apakah yang kurang bagi sultan apabila mengelus kepala?
Seorang pengemis karena kasih sayang meskipun hanya sekali-kali.
Apakah perlu kujelaskan kegelisahanku?
Karena Engkau tahu kegelisahanku.
Wahai Tuhanku! Kusandarkan diriku pada kasih sayang-Mu.
Karena hanya kasih sayang-Mu-lah sandaranku.
Bimbinglah hati yang bimbang ini.
Karena hati tanpa pembimbing akan jatuh dalam lubang. []
_____
Disadur dari: Ahmad Mir Khalaf Zadeh & Qasim Mir Khalaf Zadeh, Kisah-Kisah Doa, Qorina, Jakarta, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar