
Risalah di hadapan anda ini adalah hasil Dialog antara Al-Ustadz Husein Al-Habsyi dengan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Islam Yogyakarta (UII) di Solo.
Dalam dialog tersebut para mahasiswa menanyakan beberapa masalah tentang Madzhab Syi’ah Imamiyah; Hadits Qur‘an wa Sunnati atau Hadits Qur ‘an wa Ithrati?
Mahasiswa: Kami pernah satu hadits tetapi ada dua pengakuan terhadap hadith tersebut adalah Hadits Tsaqalain yang menyebutkan tentang Kitabullah wa sunnati mohon penjelasan?
Ustadz Husein: Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau Imamiyah yang berbunyi sebagai berikut: "Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baitku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat."Menurut Syi‘ah Imamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dari kitab-kitab standar kita Ahlussunnah (lihat catatan kaki no. 6) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan "Ithrati", kita Ahlussunnah menganggapnya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayatk an hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahlul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dan lain-lain Dan juga di dalam tafsir lbnu Katsir, Jama‘ul Ushul dan lain-lain.Tadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap Hadits ini shahih: Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlul Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[19] tetapi hanya "Kitabullah wa sunnati" yang dipakai.Hadits kitabulah wa sunnati rasulihi maksudnya ialah "Kami meninggalkan dua hal bagimu, Kitab Allah dan Sunnahku", Hadits ini menurut kita Ahlussunnah shahih dan bahkan kita berpegang dengannya.Namun bagi Imamiyah yang saya anggap mereka itu teliti sekali, mengatakan bahwa justru hadits -wa sunnati- ini tidak tepat dan tidak sesuai dengan keadaan serta kenyataan di saat itu (Lihat Kitab: Li akuna ma’ashodiqin oleh Muhammad At-Tijani As-Samawi).Menurut kenyataan sejarah, Nabi melarang sahabat menulis hadits Beliau. Sayyidina Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melarang menulisnya sehingga sunnah Nabi yang merupakan ucapan Beliau, pengakuan suatu tindakan yang dilakukan sahabat atau ikrarnya, kemudian perbuatan Beliau sendiri. Ketiga-tiganya itu tidak pernah terbukukan sebab ada larangan.[20]Walaupun larangan itu oleh sebagian golongan sebagai sesuatu yang naif sebab dikatakan khawatir bercampur aduk dengan Al-Qur’an. Hal ini saya kira mustahil sebab Allah telah berjanji akan memelihara Al-Qur’an itu dan segala gangguan dan juga bahasa Al-Qur’an itu dan sastranya demikian indah dan jauh berbeda dengan hadits.Kalau orang Arab apalagi yang hadir di zaman Nabi khususnya yang muslim, tidak mungkin keliru atau salah membedakan antara hadits Rasulullah Saww dan Al-Qur’an. Oleh karena itu konon diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah mengajarkan sunnahnya.[21]Jadi bila Nabi bertindak atau bersabda maka sahabat mencatatnya.[22] Tetapi kadangkala tidak semua sahabat hadir pada waktu itu sehingga kadang-kadang satu sunnah Nabi hanya disaksikan oleh seorang sahabat saja. Sehingga banyak sahabat misalnya tidak faham tentang cara tayammum.[23] Ada sahabat yang tidak tahu bagaimana cara mengusap sepatu dalam berwudhu, sebab mereka tidak melihat Rasulullah Saww berbuat demikian.Jadi praktis yang terbukukan waktu itu yang berwujud kitab hanyalah Al-Qur’an.[24] Oleh karena itu Nabi bersabda: "Aku tinggalkan padamu Kitab Allah dan Ithrahku."Kalau sunnah Beliau benar-benar tidak tercatat, tidak mungkin orang berpegangan dengan sesuatu yang tidak ada (belum terwujud saat itu). Ketika Nabi sedang sakit keras dan beliau minta kertas dan tinta -sebagaimana yang telah diriwayatkan Bukhari-[25] untuk menuliskan wasiat, namun Sayyidina Umar menjawab: Ya Rasulullah! Cukup bagi kami Al-Qur’an.Dengan susunan kalimat Sayyidina Umar ini -Yakfina Kitabullah- dan sama sekali tidak menyebut Sunnah, berarti -kalau kita mau jujur dan berprasangka baik- Sayyidina Umar tidak akan berpegang dengan Sunnah yang memang waktu itu belum tercatat dan belum terbukukan. Jadi Sayyidina Umar bukan menolak Sunnah walaupun ada Syi‘ah yang radikal mengatakan Umar menolak Sunnah, jadi termasuk ingkar sunnah tetapi sebagian lain mengatakan tidak demikian, sebab Umar pada waktu itu belum melihat adanya sunnah, sehingga dia bilang "Cukup Al-Qur’an". Kemudian sunnahnya bagaimana?Sunnahnya tentunya apa-apa yang ada di dada mereka, yang mereka ingat. Dan ini relatif tidak bisa apalagi yang memimpin tidak All round (menguasai sepenuhnya) dalam menghafal semua sunnah. Karena itu dengan prasangka yang baik kita harus menganggap bahwa -waktu itu sunnah belum terbukukan- Jika umpama sunnah waktu itu sudah ada (terbukukan) maka kita bisa menghukum Sayyidina Umar kafir, karena dia menolak sunnah. Oleh karena sunnah belum ada maka Umar berpegangan dengan apa yang sudah ada yakni Al-Qur’an.Alasan lain ialah ketika Nabi Saww hidup, Beliau tidak pernah mengajarkan sunnahnya kepada ummatnya tetapi Beliau hanya mengajarkan Al-Qur’an.[26]Jadi yang dikatakan sunnah adalah ucapan Beliau dan lain-lainnya itu belum ada yang mencatat (membukukan)nya dan belum terdaftar oleh semua sahabat. Kadangkala sebagaimana yang telah saya katakan tadi sunnah itu hanya didengar oleh seorang sahabat saja. Jadi Nabi tidak mengajarkan sunnah itu. Sunnah baru dibukukan dan ingatan para sahabat kira-kira satu abad setelah Nabi Saww wafat. Tepatnya di zaman Bani Abbas.Perbedaan pendapat antara sahabat tentang memerangi kaum murtad di zaman khalifah Abu Bakar adalah salah satu bukti bahwa sebagian sahabat lupa akan sunnah Nabi yang belum terbukukan saat itu.Peristiwa peperangan dengan kaum Riddah atau kaum murtad yang terjadi pada bulan-bulan pertama masa pemerintahan Abu Bakar yaitu menghadapi orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat. Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka dan Umar sedianya menolak dengan alasan mereka itu tetap mengucapkan syahadat, tetapi akhirnya Umar setuju. Pada awalnya Umar berdalil untuk menentang tindakan Abu Bakar, akhimya karena kuat dan kerasnya pendirian Abu Bakar maka Umar tertarik dengan pendirian Abu Bakar dan Ahl Riddah (yang tidak mau membayar zakat) itu.Andaikata sunnah Nabi pada waktu itu sudah dibukukan tentu kedua sahabat besar ini tidak akan lupa akan peristiwa yang disaksikan oleh kedua beliau itu sendiri dan mereka tahu bahwa kejadian itu sampai turun ayat Al- Qur ‘an: "Yaitu peristiwa Tsa‘labah."Tsa’labah adalah salah seorang sahabat yang tidak mau mengeluarkan zakat di zaman Nabi dan dihadapi oleh Nabi sendiri sampai ada ayat yang turun karena peristiwa itu, namun terhadap Tsa’labah ini Nabi tidak membunuhnya. Jadi membunuh orang yang tidak mengeluarkan zakat tidak cocok dengan sunnah Nabi pada waktu itu. Tidak ada sahabat yang tidak tahu tentang masalah Tsa’labah ini, termasuk sahabat Abu Bakar dan Umar. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah Nabi tidak terbukukan, kalau memang terbukukan tentunya mereka akan merujuk ke sunnah itu.Oleh karena itu hadits yang menyebut "sunnati" itu menurut mereka tidak bisa dipastikan benar. Selain itu ada beberapa alasan yang terbaca oleh kita dalam hadits-hadits baik dari amalan-amalan sahabat yang bertentangan dengan sunnah Nabi andaikata mereka tahu, niscaya tidak akan mereka lakukan dan kita tidak berani mengatakan bahwa mereka sengaja bertindak dengan ijtihad sedangkan nash ada tetapi mungkin saja mereka ijtihad kerana sunnah tida ada atau tidak terdaftar, sedang yang bersangkutan tidak ingat sunnah itu. Jika mereka benar-benar tidak tahu tentang sunnah beliau dalam beberapa masalah maka bagaimana Nabi memesankan agar berpegangan dengan sunnah yang belum ada itu?Setelah lama Rasulullah Saww wafat baru sunnah Nabi itu terbukukan. Orang yang pertama membukukannya adalah Imam Malik dan pembukuan tersebut dilaksanakan setelah terjadinya peperangan Jamal, peran g Siffin dan perang Nahrawan dan juga setelah peristiwa Al-Harra di mana ketika itu Madinah Rasulullah Saww dibuka bagi kaum angkara murka. Banyak sahabat yang terbunuh dalam peperan gan-peperangan dan peristi’wa itu. Ummat Islam saat itu terpecah menjadi dua kelompok:Kubu Ali dan keluarga Nabi Saww dan kubu sahabat-sahabat pada umumnya. Yang lebih parah lagi adalah perpecahan antara kubu Ali dan Muawiyah. Para perawi yang ada mendekati Muawiyah, dan oleh Imamiyah hadits-hadits mereka tidak dipakai. Jadi hadits "sunnati" menurut Imamiyah tidak ada, yang ada hanya hadits "a ithrati hal ini bisa dipertanggungjawabkan oleh kita Ahlus sunnah maupun oleh mereka kaum Syi’ah.Dalam hadits "wa itrah" Nabi Saww seakan akan menyatakan, "Qur’an itu kutinggalkan atau Kitabullah itu saja yang aku tinggalkan padamu, adapun mengenai pelaksanaannya yaitu mandatarisnya adalah Ahlul Bait dalam arti keseluruhan.Oleh karena itu, Ali oleh Imamiyah dianggap sebagai sahabat yang paling alim dan hal ini sudah diaksiomakan di zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ketiga sahabat ini kalau menghadapi suatu masalah pasti pergi menjumpai Ali dan bertanya kepadanya. Nabi bersabda: "Aku kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya."[27]Karena itu menurut Syi’ah, lebih aman berpegang teguh kepada Itrah. Ah lus sunnah juga meriwayatkan "wa itrati" dan Syi’ ah Imamiyah juga meriwayatkan hadits wa ithrati, jadi kita menemukan titik temu dengan Syi‘ah dalam masalah ini walaupun antara kita dan mereka mempunyai jalur masing-masing. Adapun "wa sunnati" hanya ada pada jalur kita dan itupun han ya dua atau tiga jalur. Karena itu Syi‘ah menolak nya dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah saya paparkan yakni pada waktu itu sebelum dibukukan atau belum ada.
Mahasiswa: Sebenarnya jawaban Ustadz tadi cukup jelas dan gamblang. Secara pribadi, saya bisa menjawab mana yang lebih shahih dan yang lebih bisa diterima antara hadits "sunnati" dan "itrati". Namun saya ingin mendapat penjelasan yang lebih pasti dan Ustadz. Yakni mana yang lebih shahih, hadits "sunnati" dan "itrati"?
Ustadz Husein: Saya sendiri menganggap bahwa kedua pendapat Sunnah dan Syi ‘ah itu sudah cukup jelas. Kalau pendapat Imamiyah "wa sunnati" tidak mungkin diucapkan oleh Nabi sebab Nabi tidak akan mungkin meninggalkan sesuatu yang tidak berwujud (konkrit) atau lengkap.Nabi hanya meninggalkan sesuatu yang konkrit yaitu Al-Qur’an. Jadi para sahabat walaupun yang buta huruf tidak bisa baca Al-Qur’an, kemudian mereka memerlukan satu ayat, mereka bisa bertanya kepada orang-orang yang hafal (huffadz), tetapi masalah sunnah mereka memerlukan keterangan dan waktu itu tidak ada satu pun kitab yang bisa dijadikan rujukan oleh mereka, sedangkan mereka memerlukan sunnah itu. karena, pada waktu itu sunnah terpencar-pencar di dada para sahabat dan tidak semua sahabat hadir ketika Nabi mengucapkan sesuatu, maka sulit kita percaya bahwa Nabi meninggalkan sesuatu yang belum konkrit, masih abstrak, yang masih diingat oleh satu orang sedang orang lain tidak ingat. Nabi tidak meninggalkan barang seperti itu tetapi beliau meninggalkan Al-Qur’an.[28]Bahkan kalau saya tidak salah, Bukhari sendiri menyatakan ketika ditanya apakah Nabi meninggalkan wasiat atau tidak, Nabi hanya mewasiatkan Kitabullah (tanpa wa sunnati). Saya kira riwayat Bukhari ini lebih tepat dipegangi oleh Ahlussunnah
Lembang retype@Ama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar