Dalam perjalanan ini seorang hamba akan melakukan perjalanan yang tidak akan ada batasannya. Karena al-Haq tidak memiliki batas. Di sinilah Imam Ali bin Abi Thalib berkata : "Aduh ….. betapa sedikitnya bekal dan jauhnya perjalanan."
Dalam perjalanan ini seorang hamba mencoba untuk menelusuri sifat-sifat Ilahiah sehingga ia – kalau mendapat taufik – akan mengetahui semua sifat dan asma Allah. Maka disamping fana dalam zat seperti pada perjalanan pertama, ia juga fana dalam sifat-sifat dan perbuatannya.
Namun jangan lupa, fana bukan berarti tiada. Sebab menjadi tiada bukan keutamaan. Fana berarti seseorang tidak melihat dirinya. Baik zat, sifat atau perbuatannya (fana yang sempurna). Yang ia lihat hanya zat Tuhan, sifat-sifat dan perbuatan-Nya.
Fana dalam zat juga disebut maqam "rahasia" (sir) dan fana dalam sifat serta perbuatan disebut "tersembunyi' (khafi). Sedang maqam "tersembunyinya tersembunyi" adalah fananya fana. Yakni ia tidak lagi merasakan kefanaan. Sebab ketika ia merasa fana – sekalipun fana tidak melihat diri – berarti masih ada sedikit pengakuan terhadap keberadaannya. Sebab perasaan, ada setelah adanya si perasa. Memang, yang ada tetap akan ada. Namun bagi para aulia mengakui keberadaannya sendiri adalah dosa besar. Maka kesadaran kepada fananya di tingkat terakhir pada perjalanan ke dua ini mesti diabaikan sehingga perhatian hanya tertuju kepada Allah. Dengan ini, perjalanan ke duanya berakhir.
3. Perjalanan dari Al-Haq Menuju Makhluk Bersama Al-Haq
Seseorang yang terkurung dalam aneka ragam (banyak, selain Tuhan) mesti berusaha melepaskan diri dari kurungan tersebut dan mencoba untuk menyentuh Satu. Mencoba meninggalkan aneka ragam untuk dapat mensyuhudi makna satu yang sederhana (tidak berangkap). Ketika berhasil maka ia mencapai maqam fana.
Tapi seseorang yang telah sampai ke tingkat fana, ia harus berusaha lagi untuk melihat aneka ragam tadi dengan tetap menjaga kefanaannya itu. Yakni ketika ia mencapai fana berarti ia telah menjadikan seluruh tubuh dan ruhaninya bersifat keTuhanan. Dengan nafas dan sifat keTuhanan itulah ia kini mesti mencoba untuk melihat semua makhluk. Yakni alam akal (jabarut), barzakh (mitsal, malakut) dan alam materi (mulk, nasut). Tapi sekali lagi, dengan penglihatan Tuhan. Karenanya ia tidak akan bergeming sedikitpun. Dan rahasia-rahasia yang didapatinya dalam tiga alam itu tidak membuatnya bangga.
Kalau dalam perjalanan pertama keindahan mengetahui rahasia tiga alam itu adalah gangguan, karena di satu sisi menggiurkan dan di sisi lain menjadi jebakan dan hijab, sehingga seorang hamba selalu berusaha menepis dan menghindar, namun dalam perjalanan ini semua itu tak menggiurkan lagi. Karena ia telah bersama Tuhan dan semua tubuh dan jiwanya telah bernafas ke-Tuhanan. Kelezatan bersama Tuhan ini tidak akan membuatnya lengah dalam menelusuri ketiga alam itu. Dengan ini selesailah perjalanannya yang ketiga.
4. Perjalanan dari Makhluk ke Makhluk Bersama Al-Haq
Perjalanan ke tiga di atas adalah awal perjalanan ke empat. Kalau perjalanan ke tiga, perjalanan dari al-Haq menuju Makhluk, maka perjalanan ke empat ini, perjalanan berkisar di makhluk. Namun tetap bersama al-Haq. Di sini dengan mata Ilahiah ia secara seksama memperhatikan makhluk dan rahasianya. Maka seseorang yang sampai ke tingkatan ini mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, titik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya. Karena itu kalau Tuhan menghendaki, ia akan diangkat menjadi seorang Rasul utusan.
Maqam-maqam yang empat di atas disebut maqam "wilayah" atau "khilafah" (khalifatullah) atau "insanu al-kamil". Sedang jika diutus menjadi rasul, maqam ini disebut juga maqam "risalah" (kerasulan).
Ini penjelasan singkat mengenai Empat Perjalanan yang diterangkan dalam "Irfan" (tasawuf yang urafa' bukan mutasawwifah). Namun yang perlu ditambahkan di sini adalah, seorang 'arif (insanu al-kamil) biasanya tidak menganggap argumen, suatu yang penting. Karena argumen ialah pahaman-pahaman yang dirangkai dalam suatu silogisme demi mencapai kebenaran yang diinginkan (hasil), dalam hal ini ialah hakikat dibalik materi yang kita kenal. Sebab itu argumen tidak menghasilkan apapun kecuali pahaman juga. Walaupun pahaman ke dua ini dapat diyakini kebenarannya. Namun bagaimanapun ia adalah pahaman : Yang "mengerti" tentang sesuatu.
Sedang syuhud para arif adalah sesuatu itu sendiri. Bukan pahamannya. Jadi hakikat argumen adalah hakikat hijab sekalipun penerang bagi yang mahjub (terhijabi). Ibarat kurma, makan kurma adalah syuhud dan keterangannya adalah argumen.
Karena seorang arif tidak mementingkan argumen maka mereka tidak biasa dengan argumentasi. Walaupun kadangkala mereka terpaksa melakukannya demi mengingatkan dan meyakinkan yang mahjub (tertutup hatinya). Sehingga tidak jarang peringatan mereka disalahpahami dan segera saja mereka mendapat getahnya. Sebab pangkat kafir, murtad dan lainnya akan segera menghujani mereka.
Akhirnya bangkitlah seorang filosof yang urafa', urafa' yang filosof, orang paling besar dalam sejarah pemikiran, Aristo akhir jaman, Plato dan Muhyidin abad sepuluh (979-1050 H), filosof yang paham dan arif yang sampai, marhum Muhammad Ibnu Ibrahim Shadruddin Syirazi, yang umum dikenal dengan Mulla Shadra atau Shadru al-Mutaallihin (semoga Tuhan selalu mengangkat derajatnya).
Ia yang sampai, dapat melihat dan menyuhud yang dilihat urafa', dan dengan akalnya dapat menyusun argumen-argumen dengan baik sehingga yang mahjub dapat memahami yang disyuhud urafa'. Kefilsafatannya mengguncang filsafat. Dengan penemuan-penemuan barunya dalam menguak hakikat, membuat para filosof tak berani mengaku filosof lagi. Ia telah memadu syuhud dan argumen. Ia meyakini bahwa argumen tanpa syuhud tidak berharga, dan syuhud tanpa argumen tidak bisa dipahami orang lain, walaupun tak mengurangi ketinggiannya sedikitpun.
Empat Perjalanan Mulla Shadra
Empat Perjalanan Mulla Shadra yang dimaksud adalah filsafatnya yang disusun dalam empat tahap perjalanan para urafa'. Bukunya, kini dicetak dalam sembilan jilid, masing-masing setebal + 400 halaman. Sedang Empat Perjalanannya ini jelas dalam perenungan akliah. Sekalipun bagi yang teliti, buku ini (Asfar) juga merupakan buku yang menerangkan Empat Perjalanan urafa' yang syuhudi.
1. Pembahasan Tahap Pertama
Dalam tahap pertama ini Mulla Shadra membahas wujud secara umum sebagaimana layaknya. Semacam pembahasan substansi, aksiden, sebab-akibat, esensi, dan lain-lain sampai pada pembuktian wujud Allah melalui akibatnya (makhluk). Pembahasan ini bisa didapat pada jilid I s/d jilid V.
2. Pembahasan Tahap ke Dua
Dengan pembahasan di atas pembahasan kitab Asfar telah sampai pada pembahasan Tuhan. Walau melalui makhluk Nya. Yakni membuktikan sebab melalui akibat. Dalil itu dalam istilah disebut sebagai dalil "inni" (posteriori argument). Dalil ini tak dapat disebut sebagai dalil kuat. Karena akibat jelas lebih rendah dari sebabnya. Mengenai akibat tidak berarti mengenai sebab.
Tapi dalil "limmi" (priori argument) yang berangkat dari sebab itu sendiri untuk membuktikan keberadaannya dan akibat-akibatnya, secara akal dan filsafati akan lebih akurat. Ibarat mengenali si Joko. Kalau pengenalan itu melalui dirinya sendiri akan lebih akurat ketimbang melalui suaranya. Apalagi untuk mengenali suara setelah kita mengetahui dan berhadapan dengan orangnya. Tentu akan lebih akurat.
Sesuai perjalanan para urafa' pembahasan ke dua kitab Asfar ialah membahas Tuhan. Baik pembuktian keberadaanNya yang melalui diriNya sendiri atau pembahasan sifat-sifatNya. Pembahasan ini dapat dijumpai di jilid VI sampai dengan ke VII.
3. Pembahasan Tahap ke Tiga
Dalam tahap ini Asfar membahas alam non-materi yang berada di atas dan di balik alam materi, yang merupakan makhluk dan perantara terciptanya alam materi ini.
Kaidah-kaidah semacam "yang satu tak mungkin melahirkan kecuali satu", "yang tercipta adalah yang terbaik", "yang lebih baik pasti dicipta", "tak mungkin ada kekosongan antara yang sangat sempurna (Tuhan) dan yang sangat rendah (materi)" dan lain-lain dibahas dalam tahap ketiga. Sehingga pengkaji di sini mengkaji alam-alam non-materi tersebut sampai kepada non-materi yang tidak mutlak (jiwa, ruh manusia) dengan menggunakan Tuhan sebagai dasar argumen-argumennya. Ini kebalikan dari pembahasan tahap pertama. Di pembahasan pertama makhluk dijadikan bahan dasar argumen keberadaanNya. Di sini Tuhanlah yang menjadi dasar argumen pembuktian keberadaan makhlukNya. Khususnya makhluk yang tak terlihat mata karena kenon-materialannya. Pembahasannya dijumpai di akhir jilid VII.
Contohnya : pembahasan akal pertama. Dalam filsafat dikatakan : makhluk pertama mestilah akal-pertama dan tak mungkin selainnya. Baik yang lain ini adalah non-materi juga atau bahkan materi. Sebab :
1. Sebab dan akibat mesti memiliki kesejenisan. Karena kalau tidak, setiap sesuatu bisa mengakibatkan apa saja tanpa kecuali dan tanpa batas. Air bisa menyebabkan hilangnya dahaga dan api bisa mengakibatkan kebakaran.
2. Tuhan tidak terbatas. Karenanya tak mungkin berangkap. Sebab setiap yang berangkap pasti terbatas. Seluas apapun keberadaan rangkapan itu.
Dengan dua mukadimah di atas dapat disimpulkan bahwa makhluk pertama juga mesti sederhana / tak berangkap, walaupun tak mungkin sesederhana penyebabnya. Karena sebab pasti lebih mulia dari akibatnya. Namun mesti mendekati. Jadi kalau Tuhan memiliki satu dimensi, katakanlah akal-pertama ini memiliki dua dimensi. Yakni dia sebagai dia dan sebagai bukan Tuhan. Ini pembatas dan esensi baginya.
Sedang perkataan "Tuhan bukan makhlukNya" bukan batasan bagiNya. Sebab penafian di sini adalah penafian terhadap penafian : Penafian pada suatu kenegatifan. Sebab semua makhluk pasti terbatas. Sehingga "Tuhan bukan makhlukNya" adalah "Tuhan bukan yang terbatas."
Jadi batasan akal-pertama hanya bahwa ia bukan Tuhan. Tapi batasan ini cukup membuatnya sangat fakir dan lemah di hadapan Sang Agung. Jangankan sifat-sifat kesempurnaan, keberadaannya saja datang dari dan dipertahankan oleh Tuhan.
Dengan dalil yang hampir serupa, Tuhan melalui akal-pertama mencipta akal ke dua. Begitu seterusnya sampai pada dimensi yang mendekati alam mitsal. Sebab dari yang terakhir ini penciptaan alam mitsal dimulai. Mulai dari alam mitsal tertinggi sampai yang terendah, yang mendekati alam materi. Dari yang terendah itu alam materi mulai dicipta. Ibarat penciptaan seorang anak dimana ayah dan ibu telah dijadikanNya perantara, maka alam materi yang luas inipun memiliki benih atau gudang – (Tidaklah dari setiap sesuatu itu kecuali di sisi Kamilah gudang-gudangnya dan Kami tidak menurunkannya kecuali sedikit. QS. 15 : 21) – dimana darinya ia tercipta atau diturunkan.
Kalau Anda bertanya, tidak bisakah Tuhan mencipta alam materi dan yang lain selain akal-pertama secara langsung? Jawabnya sudah pasti "bisa". Tapi bisakah selain akal-pertama tersentuh kudrat Tuhan secara langsung? Jawabnya juga pasti. Yakni "tidak bisa".
Atau bisakah Tuhan memasukkan bumi ke dalam telur tanpa merubah kondisi keduanya? Jawabnya "bisa". Namun tentu kedua benda itu yang tak mampu saling menyatu. Sebab keduanya adalah papa dan serba kurang. Demikianlah keadaan tiap makhluk. Terbatas dan tidak bebas.
4. Pembahasan Tahap ke Empat
Dalam tahap ini pembahasannya terfokus pada pembahasan ruh manusia dan seluk beluknya sampai pada kebangkitannya dan bahkan kebangkitan semua keberadaan (makhluk). Di sinilah dibeberkan perbedaan definisi "Maad" (kebangkitan) antara definisi yang diberikan oleh para filosof dan yang diberikan para ulama ahli kalam. Dan sudah tentu asal-usul manusia dan kemampuannya untuk menjadi surga dan neraka juga dibeberkan.
Pembahasan itu dijumpai dalam jilid VIII dan IX. Sebenarnya kitab Asfar ini adalah kitab irfan yang filsafati dan kitab filsafat yang irfani (tasawuf yang urafa'). Tapi itu tidak akan nampak kecuali bagi yang mempelajari secara menyeluruh dan teliti.
Di pesantren Syi'ah untuk mempelajari Asfar diperlukan beberapa syarat yang bersifat umum selain yang pribadi / khusus.
Syarat-syarat umumnya adalah :
1. Bahasa Arab. Dari Sharaf, Jurumiah, Quthrunnadah, Syarh Ibnu Aqil atau Suyuthi sampai pada Mughni al-Labib. Waktunya + 3 – 4 tahun.
2. Logika. Dari Khulasah sampai Mudhaffar atau Hasyiah. Waktunya + 2 – 3 tahun.
3. Ilmu Kalam. Dari Babu al-Hadi 'Asyr sampai Syarhu al-Tajrid, + 2 – 3 tahun.
4. Ilahiyat Ibnu Sina. + 1 – 2 tahun.
5. Isyarat wa al-Tanbihat yang juga karangan Ibnu Sina. + 1 – 2 tahun. Atau mempelajari Bidayatu al-Hikmah dan Nihayatu al-Hikmah karangan Allamah Thaba'thabai, bisa + 2 – 3 tahun.
Dan syarat-syarat pribadinya adalah :
1. Pembersihan jiwa dari dosa, makruh dan mubah. Kalau Anda bertanya apakah mereka tidak makan dan minum? Jawabnya : juga makan-minum seperti kita. Tapi makan dan minum mereka hanya karena kebutuhan jasmani saja tanpa dicampuri rasa suka dan senang sedikitpun kepada makanan dan minuman yang dimakan dan diminumnya. Begitupun pekerjaan mereka yang lain.
2. Menguatkan dasar-dasar ma'rifah dan hikmat (filsafat). Jika tidak, maka bangunan yang akan dibangun di atasnya akan mudah runtuh dan dijatuhkan.
3. Jangan menyibukkan diri dengan kata-kata para sufi yang bodoh (mutasawwifah, bukan sufi yang urafa'). Jangan pula condong pada kata-kata para mutafalsifah (kefilosof-filosofan). Karena itu adalah fitnah menyesatkan.
Setelah syarat-syarat itu terpenuhi maka mulailah seseorang mempelajari kitab Asfar yang berjumlah sembilan jilid. Pada masing-masing jilidnya memerlukan waktu umumnya 2 tahun secara sedang. Anjuran khusus di atas merupakan anjuran Mulla Shadra sendiri. Maka dapat diyakini bahwa bagi sesiapa yang tidak memperhatikan nasihat tersebut lalu mempelajari Asfarnya, maka tidak akan dapat memahami sekalipun merasa memahami. Sedang syarat-syarat umum itu merupakan kesimpulan penulis diambil dari penglihatannya semasih di pendidikan.
Namun demikian tidak jarang Syarhu al-Tajrid diisi dengan kitab Kalam lain semacam kitab karya Ayatullah Ja'far Subhani yang tergolong ulama kalam terkenal masa kini (semoga Tuhan memanjangkan umurnya). Terkadang Bidayah dan Nihayah di atas mewakili Ilahiyat dan Isyarat wa-Tanbihatnya Ibnu Sina.
Pada zaman ini keterangan-keterangan tentang kitab-kitab yang dipelajari di Hauzah (pesantren) di Iran direkam melalui kaset-kaset. Dari pelajaran yang paling rendah sampai pelajaran yang paling tinggi. Kalau Fiqih dan Ushul-fiqih, dimulai dari dasar sampai Bahtsu al-Kharij (pelajaran akhir menjelang ijtihad). Kalau pemikiran dan ma'arif (ilmu pengetahuan Islam selain keduanya) dimulai dari Logika sampai Filsafat dan bahkan Irfan. Namun yang terakhir ini tidak diperkenankan memanfaatkannya kecuali dapat izin dari pengajarnya atau mereka yang kompeten dalam hal itu. Tidak ketinggalan pula kaset-kaset Tafsir, Hadits dan lain-lain direkam juga.
Kaset-kaset itu dapat mempermudah siapapun yang ingin belajar, baik untuk membandingkan keterangan guru di kelasnya, memperjelas keterangan gurunya dan / atau menyingkat waktu belajarnya. Sampai-sampai Sayyid Rahbar Ayatullah 'uzhma Ali Khamenei (hafizhahullah) mengatakan : "Adanya kaset-kaset ini merupakan anugerah dan inayah Ilahiyah."
Dengan adanya kaset-kaset itu seseorang bisa mempermudah dan mempercepat waktu belajarnya. Tergantung kerajinan dan kepandaian serta ketakwaannya. Karena ilmu-ilmu agama adalah suci dan cahaya. Karena itu tidak dipahami kecuali oleh sesiapa yang mensucikan hatinya. Sekalipun orang-orang yang kotor jiwa dan hatinya, karena tidak melaksanakan nasihat pertama Mulla Shadra yang diambil dari ayat-ayat Qur'an dan Hadits-Hadits, pasti akan merasa paham. Itulah bedanya ilmu agama dan selainnya. Ilmu-ilmu yang lain akan dipahami ketika dirasa dipahami dan begitu pula sebaliknya. Sedang ilmu agama hanya akan dipahami oleh yang benar-benar berusaha mensucikan dirinya.
Sekarang tinggal kita dan keputusan kita. Akankah kita sucikan hati dan jiwa dari dosa, makruh dan mubah? Sementara para aulia sebenarnya telah membersihkan diri mereka dari sunnah dan wajib. Sebab ketika mereka melakukan kesunnahan dan kewajiban, di hati mereka tidak tertanam rasa pamrih (surga), dan hal yang sunnah dan wajib itu dipandang sebagai rasa kasih Yang Maha Kasih. Bukan kewajiban yang dikarenakan kewajiban itu sendiri. Sebab Tuhan tidak menggariskan semua itu kecuali untuk ketinggian manusia itu sendiri. Yakni berproses mendekati Allah. Yakni menjadi hakikat keterdekatan. Bukan orang yang bersifat dekat dengan Tuhan. Yakni menjadi gerak substansi. Bukan gerak aksiden. Semoga kita termasuk orang-orang yang berproses mendekatiNya (wailaihi al-mashir, wailaihi raji'un). Bukan orang-orang yang berproses menjadi syetan dan neraka. Amin ya Rabbal 'alamin. []
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
BalasHapusAsy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dlm kitab Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempit ruang rubrik ini mk hanya bisa ternukil sebagian saja.
1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tdk pernah melihat kaum yg lbh dungu dari Syi’ah.”
2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika dita tentang seorang yg mencela Abu Bakr dan ‘Umar beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalati ?” Beliau berkata: “Tidak tiada kehormatan .”
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i telah disebut di atas.
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tdk melihat dia itu orang Islam.”
5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara . Mereka tdk boleh diberi salam tdk dikunjungi ketika sakit tdk dinikahkan tdk dijadikan saksi dan tdk dimakan sembelihan mereka.”
6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yg mencela salah satu dari shahabat Rasulullah mk ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu krn Rasul bagi kita haq dan Al Qur’an haq dan sesungguh yg menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adl para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para saksi kita dgn tujuan utk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka lbh pantas utk dicela dan mereka adl zanadiqah.”
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah mudah-mudahan bisa menjadi pelita dlm kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaranAmin.
Sumber: www.asysyariah.com