Jumat, 13 Agustus 2010

Genit, Sengit dan Gesit

Seperti dilaporkan Sayed Hosein Nasr, filsafat Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian Timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki tanah subur yang menyebabkan filsafatnya mampu bertahan hidup sampai sekarang, tetapi juga secara definitif menjadi arena utama aktivitas dalam filsafat Islam. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor pendukung berkembangnya pemikiran filsafat di Iran. Pertama, faktor kultural-historis. Kedua, tradisi keagamaan Syi’ah.

Dalam sejarahnya, Iran dikenal sebagai ladang tempat lahirnya filosof, sufi, saintis, dan penyair terkenal. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat selama fase akhir sejarah Islam. Karena itu tidaklah salah bila bertahannya filsafat di Iran dikaitkan dengan latarbelakang kultural yang lekat dengan rasionalitas dan mistisisme Zoroastranisme. Bahkan sebagain gagasan filsafat Mulla Shadra diduga terpengaruhi oleh para filosof era Pahlavi kuno.

Satu kenyataan penting sekaitan dengan perjalanan filsafat dalam sejarah Islam adalah turut andilnya masalah kemazhaban tradisional Islam dalam proses perkembangan pemikiran filsafat. Tanpa perlu menunjuk siapa filosof bermazhab Islam apa, yang jelas, Iran adalah salah satu situs peradaban yang besar (ed.), Routledge’s Encyclopedia of Islamic Philosophy, (rearranged into Islamic version by Dr. Mulyadhi Kartanegara), Routledge, London and New York; 1998. hal.10).

Menurut sejarah, penyerbuan Mongol telah menghancurkan dinasti Abbasiah dan membasmi komunitas Muslim di Spanyol. Bersamaan dengan itu, umat Islam pun tenggelam dalam tidur panjangnya. Abad keenam Masehi merupakan awal kebangkrutan umat Islam sunni. Abad ketujuh justru menjadi awal tumbuhnya imperium Islam di belahan Timur dan dunia Syi’ah.

Pada tahun 1499, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar dua ratus tahun. Pada periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran dalam matrik mazhab Syi’ah. Salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah filsafat. Filsafat tetap diajarkan, bahkan menjadi sebuah tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah Syi’ah yang didirikan dinasti Safawi. Pada periode Safawi, tepatnya pada abad XIII sampai XVII, filsafat di Iran mencapai puncaknya. Dari hawzah-hawzah itulah, para tokoh filsafat Iran bermunculan. Bahkan, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat, bagi dunia Islam yang didatangi umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

Perkembangan pemikiran pada zaman dinasti Safawi mempunyai karakteristik khas sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung perkembangan pemikiran mazhab masya’i, isyraqi, ‘irfani, dan kalam.

Pada awal awal abad XIX sebelum periode Qajar, filsafat Molla Sadra dibangkitkan kembali secara penuh di Isfahan oleh Mulla Ismail Khajui dan Mulla Ali Nuri. Molla Ali Nuri terkenal sebagai komentator al-Asfar al-Arba’ah karya Molla Sadra, sekaligus mengajarkannya pada generasi setelahnya.

Selama periode Qajar, Tehran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat Islam yang menghasilkan sejumlah guru besar terkenal di akhir periode Qajar dan Pahlewi, seperti Mirza Mahdi Asytiyani, Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar, Abu al-Hasan Jalweh, dan Tonekaboni.

Selama periode ini, atmosfir hawzah Irak (Najaf dan Karbala), yang semula merupakan pusat pendidikan Syi’ah di seluruh dunia, demikain pula hawzah di Iran (Qom dan Masyhad), kurang mendukung kemajuan pemikiran filsafat, karena kecenderungan pada ilmu-ilmu tekstual, seperti fiqh, yang masih sangat determinan. Bahkan tidak sedikit ulama dan marja’ (otoritas hukum) menunjukkan sikap negatif terhadap pengajaran filsafat. Namun keadaan perlahan-lahan berubah ketika muncul halaqah-halaqah pelajar filsafat, irfan, dan ilmu-ilmu rasional yang diasuh beberapa ulama yang dinilai sukses dalam ilmu-ilmu tekstual bahkan bergelar mujtahid.

Molla Husain-Qali yang mengadopsi metode itu mendidik murid-muridnya dengan filsafat Molla Sadra dan sayr suluk spiritual. Walaupun Mirza Hasan putra Akhund Molla Muhammad Ismail Wahidul-Ain Isfahani juga tinggal di Karbala untuk beberapa waktu, namun mayoritas pelajar filsafat di sana menimba ilmu dari Molla Husainquli Hamadani. Tepatnya, Molla Sabzewari memindahkan filsafat dari Sabzawar ke Najaf. Di antara murid tersohor Molla Husain-Quli Hamadani adalah: Sayyed Jamaluddin Asad-Abadi al-Afghani, Sayyed Abdul-Husain Lari, Sayyed Ahmad Karbala’i, Sayyed Sa’id al-Habubi, Agha Muhammad Baqir Istahbanati, Mehdi Ilahi Qomsyeh’i, dan Mirza Jalweh (seorang tokoh filsafat Iran yang hijrah ke Najaf guna menyempurnakan pengetahuannya tentang ilmu naqli).

Di Najaf, Mirza Jalweh memperkenalkan filsafat ketuhanan pada murid-muridnya, seperti Ayatullah Syaikh Muhammad Husain Gharawi Isfahani dan Syaikh Muhammad Ridha Yazdi. Agha Muhammad Baqir Isthahbanati terbunuh pada masa Masyrutiyyat pada tahun 1326 H, di Istahbanat.

Kepindahan Agha Sayyed Muhammad Husain Badkubey ke Najaf juga merupakan faktor lain tersebarnya filsafat di sana. Ia adalah murid Mirza Jalweh, Hakim Esykewari, dan Hakim Kermansyahi, yang mengembangkan filsafat di Najaf. Ia mengabadikan namanya dengan mendidik filosof ketuhanan besar seperti Allamah Sayyed Muhammad Husain Thabathaba’i. Syaikh Murtadha Taleqani, seorang filosof ketuhanan di Najaf yang hidup sezaman dengan Agha Muhammad Husain Badkubey, telah mendidik dan membawa guru besar Allamah Muhammad Taqi Ja’fari kepada dunia pemikiran.

Setelah Perang Dunia II, Iran tetap merupakan tempat subur bagi berkembangnya pemikiran filsafat Islam. Berawal pada tahun 1950-an (pasca Perang Dunia II), terjadi suatu ketertarikan kembali dalam filsafat Islam di Iran. Ini merupakan suatu kebangkitan kembali tradisi filsafat Islam yang belakangan mampu menjawab tantangan pemikiran Barat. Abul-Hasan Rafi’i Qazwini dam Qadhi Said Qummi adalah dua tokoh yang menjadi pelopor pengembangan filsafat pada masa itu.

Apresiasi modern terhadap al-Hikmah al-Muta’aliyah berkembang di kalangan akademisi, atau setidaknya kalangan yang tumbuh dalam pendidikan atau khasanah pemikiran modern. Para figur yang paling menonjol di kalangan ini adalah Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr, dan Mehdi Ha’ri Yazdi. Sementara apresiasi tradisional lebih bertahan di kalangan pesantren atau hawzah ilmiah, khususnya kalangan yang mengenyam pendidikan tradisional keagamaan di Qom.

Allamah Thabathabai dan Imam Khomeni disebut-sebut sebagai ‘yang paling bertanggungjawab’ menghidupkan filsafat di hawzah ilmiah Qom, yang sebelumnya didominasi oleh para ulama fikih’. Kedua tokoh ini telah mencetak puluhan bahkan ratusan ulama pemikir yang kelak memberikan kontribusi besar dalam memperkenalkan Syiah sebagai mazhab yang mampu mengharmoniskan bayan, burhan dan irfan. Muthahhari melalui karya-karyanya yang sangat luas telah menggoncang blantika pemikiran Islam terutama di dunia Islam yang sebelumnya hanya silau dengan pemikir-pemikir Sunni, seperti Sayed Quthb dan al-Maududi.

Kejutan masih berlanjut. Ternyata di hawzah Qom, telah terjadi pengayaan wacana Islam kontemporer melalui para ulama para murid Khomeini dan Thabathabai. Sejumlah nama bisa dicantumkan antara lain, Abdullah Jawadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, Muhammad Sadegi, Ja’far Subhani, Ali Gerami, Yahya Anshari Syirazi, dan yang paling gres adalah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Mereka adalah para cohen dan penguasa stoa-stoa pemikiran di Qom.

Kini dengan tampilnya Iran sebagai kekuatan baru di dunia, terutama di Dunia Islam dan sambutan monumental rakyat Indonesia terhadap kedatangan Ahamdinejad ke Indonesia, hipotes ini semakin kuat. Kegigihan gerombolan wahabi dan tekstualis belakangan ini dalam memprovokasi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mencurigai Syiah, sebagaimana dilakukan oleh majalah Sabili, makin memperbesar indikasi kekhawatiran makin meluasnya pengaruh pemikiran Syiah. Siapapun, terutama yang anti Syiah, akan bingung mendengar bahwa NU, Muhammadiyah dan Pemerintah menjadi tuan rumah Konferensi Pesratuan Sunni dan Syiah.

Diminatinya wacana Syiah dalam sentra-sentra pemikiran di Indonesia ini sungguh menggembirakan, setidaknya sebagai langkah awal umat Islam untuk memahami bahwa agamanya memiliki warisan kekayaan yang berlimpah; sistem filsafat, teologi, politik, ekonomi, budaya, sistem pemerintahan, yang semuanya terangkum dalam bangunan megah yang sudah terukir berabad-abad.

Mungkin produk-produk gagasan para pemikir Syiah dapat dijadikan sebagai jalan tengah demi menciptakan sebuah formulasi pemikiran Islam yang sesuai dengan heterogenitas bangsa Indonesia.

Karenanya, kehadiran dan kiprah para alumnus hawzah Qom, terutama dari Indonesia, dalam arena pemikiran Islam dewasa ini sangat diharapkan guna mengisi ruang tengah yang kosong dengan ‘Islamalternatif’ antara Islam liberal yang genit, funky dan ‘madani’ (civil) dan Islam literal yang angker dan ‘medeni’ (bahasa Jawa : menyeramkan)!

Tentu, tantangan dan hambatan akan terus menghadang. Namun dinamika waktu dan makin terbukanya akses informasi akan dapat mengatasinya. Bangsa Indonesia kini makin matang dan jenuh dengan penjejalan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok truth claim yang berusaha memasangkan kacamata kuda pada generasi muda yang kritis dan makin cerdas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar