Senin, 03 Januari 2011

Mohammad Khatami vs Mohammad Khatami

Sejatinya fenomena yang terjadi saat ini adalah perang tanpa henti antara Islam murni yang digariskan oleh Imam Khomeini ra. dalam bentuk sistem Wilayatul Faqih melawan Islam Amerika, Islam dengan warna Liberal Demokrasi. Pergesekan tanpa henti pengikut Islam Muhammadi melawan pengikut Islam borjuis yang diinginkan oleh Amerika. Perbedaannya, para pemain dan modus operandi yang dilakukan berbeda dari masa ke masa. 


Dengan ungkapan yang lebih detil, sebagian dari kubu konservatif yang membela Islam Muhammadi setelah berlalunya tiga dekade dengan berbagai alasan; seperti telah terpolusi dengan manisnya dunia, penyimpangan pemikiran, kehilangan hati nurani, cinta kedudukan dan hawa nafsu dan sombong perlahan-lahan mulai memisahkan diri dari kebenaran. Hal yang patut disesalkan mereka kemudian bergabung dengan front kebatilan dan malah mengangkat pedang melawan cita-cita yang dahulunya mereka perjuangkan. Itulah mengapa Imam Khomeini ra. senantiasa mewanti-wanti, “Tolok ukur adalah kondisi saat ini setiap orang.” Ini rahasia dari doa yang berbunyi, “Allahumm Ij’al ‘Awaqiba Umurina Khairan” (Ya Allah jadikan kebaikan sebagai akhir urusan kami).

Pernyataan Hashemi Rafsanjani, Ketua Dewan Penentu Kebijakan Negara dalam khutbah Jumatnya 17 Juli bahwa negara dalam situasi krisis ternyata disambut gembira oleh kubu Reformasi di Iran. Sayyid Mohammad Khatami, mantan Presiden Iran dua hari setelah pernyataan itu (19/7) dalam pertemuannya dengan sejumlah keluarga dari mereka yang ditahan setelah peristiwa pasca pemilu presiden mengusulkan diselenggarakannya referendum guna keluar dari kondisi krisis. Khatami menyebut solusi dari krisis yang ada dengan bersandar pada suara rakyat dan praktisnya dengan melakukan referendum.

Di hari itu juga, lembaga ulama Majma-e Rouhaniyoun-e Mobarez yang dipimpin oleh Mohammad Khatami mengeluarkan pernyataan ke-5 pasca pilpres Iran yang berbunyi, “Setidak-tidaknya kepercayaan jutaan orang terhadap proses pemilu telah hilang dan ketimbang bersikeras atas sistem yang gagal, berikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk ikut secara bebas dalam sebuah referendum guna memutuskan masalah yang terjadi selama ini.”

Bila merunut ke belakang, fenomena referendum sebenarnya kelanjutan tuntutan mereka yang kalah dalam pemilu presiden. Bila sebelumnya mereka menuntut agar pemilu presiden periode ke-10 dibatalkan, kali ini mereka datang dengan tuntutan baru bernama referendum. Namun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tuntutan referendum tidak lebih dari upaya memolitisir kondisi yang ada, ketimbang punya muatan hukum. Sama seperti pernyataan adanya kecurangan dalam pilpres oleh kubu Reformasi, namun mereka tidak pernah membuktikannya, atau setidak-tidaknya menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki.

Usulan referendum sejatinya adalah upaya kubu Reformasi untuk tetap mempertahankan isu kontroversial yang telah mereka angkat agar tetap hidup, setelah Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei, lembaga-lembaga tinggi negara dan rakyat Iran menuntut mereka agar menyampaikan ketidaksetujuan mereka lewat jalur hukum. Karena hanya hukum yang dapat menyelesaikan masalah yang ada secara damai. Supremasi hukum ternyata istilah yang paling ditakuti oleh kubu Reformasi.

Setelah mengulas masalah hukum dalam usulan referendum dalam tulisan sebelumnya, penulis ingin mengajak pembaca membuka lembaran-lembaran lama sejarah Iran sekitar tahun 1358 hingga 1360 (1979-1981), untuk menganalisa pernyataan Sayyid Mohammad Khatami mengenai usulan referendum yang bersandarkan asumsi “negara dalam kondisi krisis”. Kita bakal menemukan betapa Khatami tahun 2009 sebenarnya telah berbalik 180 derajat dari pemikirannya di tahun 1981.

Sejarah Guru Terbaik

Sejatinya fenomena yang terjadi saat ini adalah perang tanpa henti antara Islam murni yang digariskan oleh Imam Khomeini ra. dalam bentuk sistem Wilayatul Faqih melawan Islam Amerika, Islam dengan warna Liberal Demokrasi. Pergesekan tanpa henti pengikut Islam Muhammadi melawan pengikut Islam borjuis yang diinginkan oleh Amerika. Perbedaannya, para pemain dan modus operandi yang dilakukan berbeda dari masa ke masa.

Dengan ungkapan yang lebih detil, sebagian dari kubu konservatif yang membela Islam Muhammadi setelah berlalunya tiga dekade dengan berbagai alasan; seperti telah terpolusi dengan manisnya dunia, penyimpangan pemikiran, kehilangan hati nurani, cinta kedudukan dan hawa nafsu dan sombong perlahan-lahan mulai memisahkan diri dari kebenaran. Hal yang patut disesalkan mereka kemudian bergabung dengan front kebatilan dan malah mengangkat pedang melawan cita-cita yang dahulunya mereka perjuangkan. Itulah mengapa Imam Khomeini ra. senantiasa mewanti-wanti, “Tolok ukur adalah kondisi saat ini setiap orang.” Ini rahasia dari doa yang berbunyi, “Allahumm Ij’al ‘Awaqiba Umurina Khairan” (Ya Allah jadikan kebaikan sebagai akhir urusan kami).

Dalam menyikapi masalah ini, membaca ulang surat bersejarah Syahid Beheshti kepada Imam Khomeini ra, yang isinya boleh disebut pengaduan, dapat memudahkan kita memahami apa yang terjadi di awal-awal revolusi dan apa yang terjadi saat ini di Iran. Bunyi surat tertanggal 13 Maret 1981 sebagai berikut, “Sebuah cara pandang meyakini akan kefakihan dan ijtihad, ijtihad yang hidup dan fleksibel namun pada saat yang sama konsekwen di hadapan wahyu dan tunduk beribadah di hadapan Kitab dan Sunnah. Sebaliknya ada cara pandang yang kalah di hadapan fenomena Modernisme Barat dan yang lebih berbahaya adalah cara pandang tidak transparan yang secara prinsip tidak secara keseluruhan memisahkan diri dari wahyu dan di hadapan Kitab dan Sunnah tidak menampakkan ketundukkan yang semestinya.”

Oleh karenanya, tidak perlu bingung apa lagi heran mencermati fenomena pasca pilpres Iran. Sebab apa yang terjadi adalah pertentangan lama antara Islam Muhammadi yang digariskan Imam Khomeini ra. dan Islam Amerika. Coba renungkan ucapan Imam Khomeini ra. dalam pesan historisnya saat menerima resolusi Dewan Keamann PBB soal penghentian perang dengan Irak. Beliau mengatakan, “Perang kita adalah perang hak dan batil, perang orang tertindas dan penindas dan perang orang miskin melawan orang kaya. Singkatnya, perang Islam murni Muhammadi dengan Islam Amerika yang telah ada sejak Nabi Adam as hingga penutup para Nabi saw.” Fenomena pasca pilpres Iran periode ke-10 pada hakikatnya adalah perang pengikut Khitthah Imam Khomeini ra. dengan pengikut Islam Amerika, orang-orang yang tunduk pada Barat di sekitar tahun 1358 hingga 1360 (1979-1981).

Benar bila dikatakan sejarah selalu berulang. Untuk itu sangat tepat bila sejarah dianggap sebagai guru yang paling baik. Rasulullah saw sendiri bersabda, “Seorang mukmin tidak akan terperosok dua kali dalam sebuah lubang.” Ucapan Imam Ali as. menjelaskan lebih jauh mengenai masalah ini. Beliau berkata, “Setiap orang yang tidak belajar dari sejarah orang-orang terdahulu, ia akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang akan datang.” Klaim bahwa negara Republik Islam Iran berada dalam kondisi krisis dan usulan referendum ternyata satu dari pelajaran sejarah Iran.

Situasi Iran Tahun 1360 HS

Bukan suatu kebetulan bila dikatakan bahwa situasi awal-awal tahun 1360 Hijriah Syamsiah sama dengan saat ini. Pada waktu itu terjadi friksi yang cukup serius antara Presiden Iran waktu itu Abolhassan Bani Sadr dan Perdana Menteri Mohammad Ali Rajai dan perselisihan antara Bani Sadr dan Parlemen Iran. Dalam situasi yang demikian, Bani Sadr menyebut negara dalam kondisi “Bun Bast” (jalan buntu) dan solusinya adalah referendum. Bani Sadr berusaha mengusulkan referendum guna meraih tujuan yang diinginkannya.

Presiden pertama Iran mengatakan, “Negara tengah menghadapi jalan buntu! Jalan paling selamat untuk melewatinya tanpa terjadi krisis, di mana semua menyepakatinya, dan kita dapat merujuk pada rakyat dan dengan suara seluruh rakyat apa yang bakal terjadi itulah yang terjadi.”(Koran Enqelab Eslami milik Bani Sadr, 30 Ordibehesht 1360 (20 Mei 1981).

Koran Kayhan tanggal 10 Khordad 1360 (31 Mei 1981) menukil usaha Bani Sadr dalam menjelaskan usulannya sebagai berikut, “Bila suara rakyat yang menjadi tolok ukur, dalam situasi yang tenang, rakyat yang berakal, mengerti dan waspada akan memberikan jawaban yang logis. Bila tidak, pasti ucapan kami yang tidak tepat ini tidak akan berangkat dari kondisi di lapangan ke pintu hukum. Saya bukan Moshir Al-Dowleh yang bakal lari. Bila tolok ukur adalah suara rakyat dan sebagai presiden saya melihat posisi saya dalam bahaya. Saya berhak mengusulkan agar tolok ukur ini atau tidak? Bila saya memiliki hak, apakah jawaban saya ini sebagai ancaman? Kita di Republik Islam Iran telah menerima dan melakukan revolusi. Tujuannya agar menumbangkan rezim yang tidak pernah mempedulikan rakyat dan tidak menerima suarat rakyat. Kita katakan “tidak”. Rakyat punya hak dan negara milik rakyat. Tolok ukur adalah suara rakyat… Bila memang demikian, berikan kesempatan suara rakyat menentukan segalanya.”

Setelah usulan ini disampaikan, tiba giliran media membentuk oponi masyarakat. Dengan mendukung mutlak usulan ini mereka berusaaha agar rakyat menerima bahwa satu-satunya solusi keluar dari “jalan buntu” ini dengan referendum.

Sehari pasca usulan ini (31/03/1360 atau 21/05/1981), koran Mizan yang berafiliasi ke Nehzat Azadi (Gerakan Kebebasan) menulis, “Demi menyelesaikan masalah negara, kita harus merujuk langsung kepada suara rakyat.” Setelah itu koran Ranjbar dan sejumlah media lain yang sepikiran dengan Bani Sadr ikut mensosialisasikan isu referendum.

Sikap Imam Khomeini ra

Mencermati sikap dan keinginan yang ingin melanggar hukum, Imam Khomeini ra. dengan lantang mengambil sikap. Dalam pidato historisnya tanggal 6 Khordad 1360 (27/5/1981) yang dikenal dengan pidato “Keterlaluan bila kamu tidak menerima hukum! Karena sebenarnya hukum yang tidak menerimamu.” Ucapan Imam Khomeini ra sama dengan aksi-aksi kerusuhan dan ucapan-ucapan provokasi yang disampaikan oleh kubu Mir Hosseini Mousavi dan kubu Reformasi secara keseluruhan pasca pemilu presiden Iran periode ke-10. Pernyataan adanya kecurangan dalam pilpres tanpa mengadukannya lewat jalur hukum adalah pilihan sekelompok orang yang sejatinya hanya pengulangan sejarah masa lalu.

Imam Khomeini ra. dalam pidatonya mengatakan, “Bangsa Iran telah memberikan suaranya kepada Republik Islam. Segala usaha yang telah dilakukan berdasarkan keikhlasan. Mereka hanya menginginkan Islam. Bila kalian tidak menginginkan Islam, silahkan pergi ke Eropa, Amerika atau ke tempat mana saja yang kalian inginkan! Atau hidup di sini! Bila kalian menginginkan rakyat, sebentar-sebentar jangan berkata “Rakyat bersamaku.” Ingat rakyat bersama Islam! Tidak bersaama saya, kalian atau yang lain. Bila ada satu kata dari saya yang bertentangan dengan Islam, rakyat inilah yang akan memrotes atau bahkan menghancurkan saya. Rakyat hanya menginginkan Islam. Mereka tidak menginginkan individu. Mereka bukan penyembah pribadi. Rakyat menginginkan undang-undang Islam diterapkan di negara ini. Segala susah payah yang telah dilakukan mereka agar agama Islam berjaya di negara yang seratus tahun dan selama 50 tahun terakhir selalu ada usaha untuk menyingkirkan Islam. Diusahakan agar rohaniwan termarjinalkan dan lemah. Rakyat menginginkan rohaniwan karena mereka mengikuti Islam. Bila rohaniwan juga bertentangan dengan Islam, semoga tidak demikian, mereka sama saja dengan Savak, bahkan lebih buruk dari Savak.”

Singkirkan makna seperti ini dari telinga kalian bahwa rakyat sudah tidak menginginkan Islam! Tidak benar! Kalian yang telah meminggirkan agama. Kalian yang harus mengobati diri. Obati penyakit batin kalian dan jangan menulis negara di ambng kehancuran! Negara tidak akan hancur dan Republik Islam tetap berada di tempatnya. Rakyat juga senantiasa mengikuti Republik Islam. Selama parlemen berada dalam jalur Islam dan selama pemerintah berada dalam jalur Islam begitu juga selama presiden berada dalam jalur Islam, rakyat akan mendukung mereka. Siapa saja dari kalian yang tergelincir, pasti rakyat tidak akan mendukung kalian. Karena rakyat hanya menginginkan Islam. Bila masalahnya berputar pada pilihan kepada saya atau Nabi Muhammad saw, muslim mana yang akan memilih saya? Bila harus memilih kalian dan Islam, muslim mana yang akan memilih kalian ketimbang Islam? Enyahkan khayalan ini dari kepala kalian! Bila memang kondisi seperti yang kalian katakan, pasti rakyat bukan rakyat yang dahulu. Rakyat menginginkan Islam dan hingga akhir hayatnya mereka tetap memilih Islam.

Hendaknya kalian mengontrol pena-pena dan menimbang masalah yang ada. Dengan mudah tinggal di rumah dan mulai mengambil kesimpulan, “rakyat demikian”. Rakyat adalah mereka yang kalian sasksikan di gang-gang dan pasar. Rakyat adalah mereka yang pergi ke medan tempur. Mereka yang setiap harinya kembali dari medan tempur dan mengatakan, “Kami ingin kembali ke medan pertempuran”. Rakyat bukan saya dan kalian! Rakyat adalah mereka. Tolok ukur juga ada di tangan mereka. Sementara kalian hanya duduk dan membuka mulut, “Apa yang terjadi dengan rakyat? “Rakyat tampaknya sudah putus asa”, “Rakyat demikian dan demikian.” Tidak benar! Rakyat tidak pernah berputus asa dari Islam. Bila rakyat menyaksikan pekerjaan kita bermasalah, dengan lantang mereka akan mengatakan pekerjaanmu bermasalah. Sementara kami menginginkan Islam. Kontrol pena-pena kalian. Semestinya kalian menahan diri. Jangan mengikuti hawa nafsu seperti ini. Jangan sampai mengikuti setan. Sampaikan masalah dengan benar dan jangan menyampaikan masalah yang tidak benar. Sebentar-sebentar jangan mengatakan, “Apa yang harus kita perbuat sekarang? Kini apa yang akan terjadi.”

Imam Khomeini ra. di bagian lain dari pidatonya menjawab klaim jalan buntu atau krisis yang menimpa masyarakat. Klaim yang disampaikan oleh kubu Liberal Demokrasi waktu itu dan bila dibandingkan dengan peristiwa pasca pilpres periode ke-10, mereka adalah guru kubu reformasi saat ini di mana Mohammad Khatami menjadi corongnya. Imam Khomeini ra. mengatakan, “Saya senantiasa menginginkan semua kalangan hadir dan duduk bersama berbicara demi memperbaiki masalah yang ada. Jangan sampai mereka hanya duduk dan ingin menghancurkan yang ini dan yang ini ingin menghancurkan yang itu. Dengan demikian mereka sendiri membuat masalah tanpa solusi dan negara menemui jalan buntu. Sejatinya yang menemui jalan buntu adalah kalian! Kalian salah! Negara Islam tidak akan pernah menemui jalan buntu! Orang-orang tua, para pemuda dan anak-anak ini yang bakal mengeluarkan negara dari kebuntuan. Sekali lagi kalian yang menemui jalan buntu! Kalian katakan apa yang harus dilakukan. Kalian ingin Islam lenyap dari negeri ini dan tinggal kalian. Kalian ingin Iran lenyap. Kalian berdiri agar Iran lenyap! Jangan berbuat yang berlebih-lebihan! Bekerjalah demi Allah. Tenangkan diri kalian demi Allah. Karena Allah kalian menyerukan orang lain agar tenang. Jangan kalian saling bertengkar karena Allah.”

Mereka sampai berkata, beberapa hari lalu Bapak Hojjati datang ke sini, kami ingin membuat organisasi, sebuah organisasi persatuan. Saya katakan, “Tidak bisa demikian. Coba perhatikan bila kalian membentuknya, berapa organisasi yang bakal kalian buat. Dengan ucapan yang kalian sampaikan ini, organisasi tidak akan terbentuk. Tidak bisa dilakukan hanya dengan wawancara, tidak bisa dengan yang lain. Benar, berkumpullah kalian guna melakukan apa yang kalian inginkan. Tapi takutklah suatu waktu ada ledakan bom dan kita semua lenyap. Kalian harus takut dari kondisi yang seperti ini! Jangan sombong memiliki posisi dan telah melakukan sebuah pekerjaan. Jangan sombong! Rakyat menginginkan Islam. Bila kalian melangkah di luar Islam, para santri yang duduk di sini dengan sepenuh kekuatan akan menentang kalian. Semua rakyat muslim menginginkan Islam. Di awal tahun saya berkata kepada para pejabat tinggi negara agar menjadikan tahun ini sebagai tahun penerapan hukum. Segala yang ada harus jelas batasannya. Apa saja wewenang presiden dalam UUD. Bila presiden melangkah lebih dari wewenangnya, saya pasti menentangnya, sekalipun seluruh rakyat menyetujuinya. Seberapa besar wewenang perdana menteri, sebesar itu pula dia bertindak dan tidak boleh lebih dari itu. Selangkah saja keluar dari batasannya saya pasti akan menentangnya. Parlemen juga punya batasan, dan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan mereka melakukan kerjanya. Dewan Garda Konstitusi juga demikian punya wewenang, begitu juga Mahkamah Agung. Wewenang semuanya telah ditentukan oleh UUD. Tidak akan diterima dari kalian yang mengatakan kami tidak menerima hukum. Keterlaluan bila kamu tidak menerima hukum! Karena sebenarnya hukum yang tidak menerimamu. Tidak boleh menerima sikap yang demikian dari rakyat atau seseorang yang mengatakan kami tidak menerima Dewan Garda Konstitusi. Kalian tidak boleh menerimanya!”

Syahid Beheshti dalam sebuah wawancara yang dikutip koran Kayhan tertanggal 21 Khordad 1360 (11 Juni 1981) mengatakan, “Dalam UUD tugas dan wewenang Presiden telah ditentukan. Bila dibutuhkan penjelasan dan perincian, poin-poin ambigu dan multi tafsir dijelaskan lewat undang-undang yang lebih terperinci dan diratifikasi parlemen. Setiap kali ada penerapan dengan UUD masih kurang jelas, Dewan Garda Konstitusi yang berhak memutuskannya. Sekaitan dengan masalah ini, pendapat presiden bukan tolok ukur dan bukan juga yang lain. Setiap kali pemahaman dan penafsiran presiden terkait UUD berbeda dengan pandangan Dewan Garda Konstitusi, sesuai dengan UUD pendapat Dewan Garda Konstitusi yang diambil dan presiden dan parlemen tidak boleh bersikeras dengan pendapat mereka. Masalah ini adalah penjelasan Imam Khomeini ras.”

Bagaimana dengan Khatami?

Menarik sekali mencermati rapor Mohammad Khatami dalam peristiwa tahun 1360 ini. Karena Mohammad Khatami yang saat ini adalah tokoh kubu Reformasi, pada waktu itu ia menjadi wakil Wali Faqih di Koran Kayhan. Dalam posisinya itu ternyata Mohammad Khatami menulis dan membantah usulan referendum yang disampaikan oleh Bani Sadr, Presiden Iran waktu itu. Khatami menulis tiga edisi berturut-turut dalam Editorial Kayhan (Yaddasht) menolak klaim Bani Sadr soal kondisi negara yang dalam keadaan krisis dan memberikan argumentasi kritis berikut analisa mengenai usulan Referendum.

Namun Mohammad Khatami yang sama saat ini tampaknya menjilat ludahnya sendiri dan memosisikan dirinya sebagai Bani Sadr. Tahapan kejadiannya juga sama. Pertama dengan mengasumsikan negara dalam kondisi krisis, lalu mengusulkan referendum! Inilah keajaiban sejarah!

Dalam posisi menolak asumsi Bani Sadr soal kondisi negara dalam krisis dan usulan referendum yang dikemukakannya Mohammad Khatami menulis, “Menghormati pemikiran dan suara rakyat sama dengan menaati hukum yang diterima rakyat. Setiap upaya menjadikan opini rakyat sebagai alat demi menciptakan situasi bohong akibat propaganda sama artinya dengan menolak rakyat dan tidak menghormati suara mereka. Penyampaian masalah bernama “jalan buntu” juga bagian dari provokasi guna menciptakan situasi dengan memanfaatkan emosi rakyat.”

Mohammad Khatami lalu mengajukan dua alasan:

“Pertama, “jalan buntu” dapat terjadi ketika tidak ada tolok ukur bersama demi menyelesaikan perselisihan dan menyingkap kebenaran dan kebatilan. Sementara UUD yang berdiri di atas darah para syuhada dan telah disepakati rakyat dan disetujui Imam Khomeini ra. ada di tangan kita. Karena kita merasa benar dengan menyebut seluruh rakyat adalah diri kita dan friksi yang terjadi di antara para pejabat tinggi negara kita sebut sebagai perselisihan rakyat. Dengan demikian, sikap keras kepala ilegal ini kita perkenalkan sebagai “jalan buntu” dan demi mencarikan solusinya kita jadikan referendum sebagai jembatan yang berada di atas UUD!

Kedua, di balik hukum ada imam umat, Imam Khomeini ra yang melegitimasi undang-undang dan para pejabat. Rahbar yang dalam kondisi paling sulit dapat membawa revolusi menuju kemenangan dengan sikap tegasnya. Kehadirannya di setiap peristiwa tidak akan memberikan kesempatan bagi rakyat dan revolusi mencicipi “jalan buntu”, bahkan saat menghadapi usaha keras kekuatan paling hebat setan hari ini guna menahan Iran. Bagaimana mungkin Rahbar tidak mampu menepis kendala yang disebut “jalan buntu” dengan dukungan mutlak rakyat?”

Mohammad Khatami lalu melanjutkan, “Selama ada Imam Khomeini ra dan UUD tidak akan ada “jalan buntu” di hadapan rakyat. Jalan buntu hanya akan ada bila ikatan antara Imam dan rakyat terlepas dan UUD tidak lagi dianggap.”(Kayhan 1 Khordad 1360/22 Mei 1981)

Tidak cukup dengan membantah kondisi krisis negara dan usulan referendum, Mohammad Khatami malah memberikan solusi hukum demi keluar dari kondisi yang ada. Khatami menulis, “Bila ada perselisihan yang bersumber dari ketidakjelasan dalam UUD, sesuai dengan yang tertera dalam UUD dan bersandarkan suara rakyat dan persetujuan Imam Khomeini ra, hanya Dewan Garda Konstitusi yang berhak menafsirkan UUD, hanya Dewan Garda Konstitusi yang mampu menjelaskan tugas ini. Tidak satu pun atau pejabat lain yang berhak mengeluarkan hukum sekaitan masalah ini. Bila Dewan Garda Konstitusi telah mengeluarkan sebuah hukum, tidak boleh seorang pun yang menentangnya. Menghormati suara rakyat sejatinya adalah menaati apa yang telah ditetapkan.” (Kayhan, 14 Khordad 1981/4 Juni 1981)

28 tahun memang mampu mengubah siapa saja. Itulah mengapa Imam Khomeini ra memberikan resep manjur guna menilai seseorang. Beliau berkata, “Tolok ukur adalah kondisi saat ini setiap orang.” Perubahan sikap Mohammad Khatami saat menghadapi Bani Sadr, Presiden Iran waktu itu dan Mohammad Khatami saat menghadapi kondisi saat ini negara Iran benar-benar terbalik. Khatami yang semasa Imam Khomeini ra. menjadi pembela hukum, di masa Sayyid Ali Khamenei menjadi penentang hukum. Bila dahulu Khatami adalah penentang Bani Sadr, kini ia telah menjelma menjadi Bani Sadr kedua dengan usulan referendumnya.

Benar, mengusulkan referendum sendiri bukan sebuah pelanggaran, bahkan diatur dalam UUD Iran. Namun dasar pengusulan referendum itu sendiri harus berangkat dari kenyataan, bukannya asumsi tanpa dasar akibat tidak menaati undang-undang. Selain itu, dalam usulan referendum yang disampaikan tidak boleh menentang aturan yang telah ditetapkan oleh UUD. Penentangan Mohammad Khatami terhadap UUD dalam usulan referendumnya agar pengawasan referendum dilakukan oleh lembaga lain, yaitu Dewan Penentu Kebijakan Negara. Karena dalam UUD, Dewan Garda Konstitusi satu-satunya lembaga yang berwenang mengawasi referendum di Iran.

Lalu apa yang menyebabkan perubahan sikap Khatami ini? Jawabannya bakal ditemukan dalam tulisan yang akan datang.

Akhirnya, membaca kembali hadis Imam Ali as. akan terus memberikan kesadaran bagu bagi kita. Beliau berkata, “Setiap orang yang tidak belajar dari sejarah orang-orang terdahulu, ia akan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang akan datang.”[islammuhammadi/sl/IRNA, Farsnews, BBC, Bazkhani Parvandeh yek Rais Jomhour]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar