Senin, 20 Desember 2010

Praktik Neolib Era SBY

Saya sudah dapat ijin dari Drajad Wibowo untuk meneruskan info ini ke milis. Silahkan simak info ini: (Satrio Arismunandar)

Ijinkan saya berbagi sedikit tentang bahaya kebijakan yang pro-pasar yang berlebihan. Saya sering menyebut sebagai pro Konsensus Washington (KW), tapi secara politik orang lebih suka menyebut neolib. Saya sengaja memilih contoh paling baru.

Awal tahun ini, kalau tidak salah akhir Februari 2009, Depkeu menerbitkan Global Medium Term Notes (GMTN) dalam US$ dengan masa jatuh tempo 10 tahun dan yield 11,75%. Jumlahnya US$ 3 milyar, diterbitkan di New York.

Yang jadi konsultan adalah beberapa lembaga keuangan asing, underwriters- nya mereka2 juga, investor asing pun beli melalui mereka. Jadi konflik kepentingannya sangat kental.

Dalam bahasa awam, ini berarti negara berutang kepada investor asing. Utangnya dalam US$ dan negara membayar “bunga” sebesar 11.75% dalam US$ !!! Belum lagi fee bagi para konsultan dan underwriters asing tersebut. Sebagai pembanding, deposito dollar di perbankan dalam negeri hanya memberi bunga sekitar 2-3%.

Di AS sendiri, bunga deposito dollar jauh lebih rendah. Jadi selama 10 tahun ke depan, negara harus membayar bunga yang kemahalan sekitar US$ 240 juta atau Rp 2,5 triliun per tahun, kalau kita anggap kemahalannya hanya sekitar 8%.

Ikhwan dan akhwat bisa dengan mudah melihat mengapa Depkeu, menteri-menteri dan tim ekonomi yang dicap “neolib” itu sangat disukai investor asing. Ya karena investor asing itu dimanjakan dengan keuntungan yang luar biasa, mulai dari consulting fee, underwriting fee, other fees sampai dengan selisih suku bunga yang naudzubillah tingginya.

Tapi kalau uang Rp 2,5 triliun per tahun itu dimintakan untuk membeli suku cadang Hercules, Fokker, Corvet dll milik TNI, masya Allah bapak-bapak Jenderal yang mengurusi hal ini sampai harus mengemis-ngemis. Itupun ditolak. Padahal nyawa ratusan prajurit yang jadi taruhannya. Jadi kecelakaan demi kecelakaan yang menimpa TNI kita itu adalah “disasters waiting to happen”.

Apalagi kalau dana tersebut dimintakan utk memperkuat BUMN strategis spt Boma Bisma, Krakatau Steel, Dirgantara Indonesia, PAL, Inka dll. Di DPR saya harus stay alert setiap saat kalau2 ada rencana mau memotong2 dan menjual BUMN2 tsb.

Dengan negara memberikan “bunga” sedemikian tinggi, bagaimana perbankan dalam negeri berani menurunkan suku bunga? Dana simpanan pihak ketiga (baca: tabungan, deposito dll) di bank mereka bisa lari ke luar.

Jadi nasabah2 KPR yang harus membayar bunga kemahalan, debitor2 UKM, para pelaku usaha riil juga menjadi korban dari kebijakan di atas.

Ikhwan dan akhwat sekalian, itu baru satu contoh dari satu penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Padahal setiap tahun negara menerbitkan puluhan SUN. Modusnya kira2 sama. Anehnya, KPK tidak pernah menyelidiki kerugian negara ini.

Contoh lain masih banyak, dengan korban yang semakin meluas. Contoh di atas baru dari SUN saja. Belum lagi dari kebijakan perbankan, pasar modal secara umum, asuransi dsb. Belum lagi dari kebijakan dan sistem perdagangan, rejim investasi, rejim migas, rejim pertambangan umum, dst dsb.

Terakhir, perlu diingat kebijakan seperti sudah dilaksanakan puluhan tahun. Bisa dibayangkan berapa banyak korban dan berapa besar lost opportunities yang harus kita tanggung sebagai bangsa.

Sebagai penutup, sebagai pembicara seminar, selama beberapa tahun ini saya selalu menutup presentasi saya dengan kalimat berikut:

Allah menciptakan kita sebagai bangsa rajawali. Tapi elit-elit kita yang menjadikan kita sebagai bangsa bebek. Karena itu mari kita semua terbang bebas lepas sebagai rajawali

Semoga bermanfaat, mohon maaf atas semua kesalahan.”

Wass.wr.wbt.
Saya yang dhoif, Dradjad Wibowo
(kiriman Satrio Arismundar ke milis jurnalisme)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar