Rabu, 21 Juli 2010

Empat Perjalanan (Al-Asfaru al-Arba'ah)

Oleh : Hasan Abu Ammar
Mukadimah
Dalam sejarah petualangan manusia mencari "Makrifatullah" telah didapati dua jalan yang berbeda : Akal (renungan, tafakur) dan Syuhud (pencapaian, penyatuan). Namun sebenarnya kedua jalan ini tidak dipertentangkan kecuali oleh orang-orang yang tidak memahami secara benar-benar apa arti akal dan apa arti syuhud. Walaupun keduanya memang berbeda esensi.
            Orang-orang yang kurang memahami tadi mengira bahwa dua jalan itu adalah dua esensi yang berlainan, dalam arti berlawanan satu sama lain. Sehingga kedua pengikutnyapun saling mengecam. Orang-orang yang tidak paham itu membagi orang-orang besar yang terjun ke dalam keduanya kepada Filosof dan Urafa'
Padahal tidak akan ditemui di dunia ini orang yang benar-benar filosof (bukan hanya sekedar mengerti filsafat) berani berhadapan dan menentang urafa'. Bahkan mereka benar-benar menjadikan hasil-hasil tafakur mereka sebagai modal awal untuk mencari Allah SWT. Karena bagi mereka tinggal dalam alam renungan setelah menemukan letak hakikat kebenaran merupakan kebodohan yang tidak ada duanya. Ibarat peneliti makanan yang menemukan dua makanan berbeda, yang satu beracun dan yang lainnya bervitamin, masih juga memakan buah yang mengandung racun.
            Filosof-filosof besar dimulai dari Plato sampai Allamah Thaba'thabai tidak ada yang tidak berlutut di hadapan urafa'. Dan bahkan mereka telah berusaha dan umumnya telah sampai ke tingkatan-tingkatan itu sehingga mereka yang berhasil disamping disebut sebagai filosof disebut pula sebagai urafa'. Oleh karenanya tidak heran kalau Faidh Kasyani dan Imam Khomaini sempat berkata : "Aku telah lelah dengan ilmu-ilmu madrasah dan argumentasi."
            Musafir mana yang tidak lelah ketika ia mempelajari definisi air dan kegunaannya sementara bibirnya kering dan pecah-pecah karena dahaga. Nah, pencari hakikat yang hakiki baik filosof atau urafa', ia ibarat musafir yang kehausan tadi. Maka bodohlah orang-orang yang hanya ingin tahu tapi tak ingin menyatu. Bodohlah orang-orang yang ingin tahu tapi tak ingin meminum.
            Madrasah dan argumentasi mesti dilewati bagi yang tidak bermursyid atau bermursyid kepada mursyid yang tidak hakiki. Sebab tanpa argumentasi kita tidak akan dapat membedakan air dari racun atau membedakan air bersih dari air kotor. Tapi bukan untuk ditinggali. Sebab tinggal dalam argumentasi pertanda menolak argumentasi itu sendiri.

Definisi
            Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi "Empat Perjalanan" adalah Empat perjalanan manusia menuju ke empat tahapan kesempurnaannya baik dengan proses pewujudan dan penyatuan atau dengan proses pemikiran.

Penjelasan
            Untuk menjelaskan definisi di atas mesti dipaparkan terlebih dahulu tahapan-tahapan "wujud" sesuai dengan keyakinan filosofi dan kearifan.
            Wujud di pandangan orang-orang awam terbagi secara global dan bersifat naqli (naqli yang dipahaminya bukan yang dipahami para filosof dan urafa'). Baik terbagi pada alam nyata dan ghaib atau terbagi pada alam kasar, halus (jin dan malaikat) dan Tuhan. Namun dalam pandangan seorang filosof atau arif terbagi secara aqli (yang juga didukung naqli) kepada materi, non-materi (ghaib) dan Tuhan. Sedang non-materi terbagi pada alam barzakh yang juga disebut alam mitsal (idea) dan alam akal (intelligence).
Alam materi adalah alam dimana keterbatasan dan keterikatan banyak dimiliki. Definisi materi adalah Substansi yang memiliki panjang, lebar, tebal dan gerak. Karena itu terikat dengan ruang dan waktu dan saling mengganggu untuk mempertahankan kewujudannya atau meningkatkan tingkatan wujudnya. Ciri yang sangat menonjol dari materi ini terletak pada kematerialannya. Yakni beban yang dimiliki. Dimana dengan adanya beban itulah materi, disamping memiliki titik nyata (active) ia tidak akan pernah terlepas dari titik kemungkinan (power, potential).
Kalau kita lihat sebutir padi, kepadian yang dimiliki adalah titik nyatanya. Sedang titik mungkinnya banyak sekali. Ia bisa menjadi pohon padi, tanah (ketika membusuk) energi atau mani (ketika dimakan manusia) dan lain-lain. Dan perlu diingat bahwa karena definisi gerak adalah keluarnya sesuatu dari titik mungkin menuju yang dimungkinkan (nyata) secara bertahap, maka semua proses materi berlaku secara bertahap. Yakni tidak sekaligus.
Sedang alam mitsal adalah alam yang memiliki lebih sedikit keterikatan ketimbang materi. Definisinya adalah alam dimana hanya memiliki sifat-sifat materi (seperti bentuk, warna dan lain-lain) tapi tidak memiliki beban. Oleh karenanya perubahannya mendekati "kun fayakun" (jadilah maka terjadi). Ia tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu. Seseorang atau pemandangan yang kita lihat dalam mimpi merupakan contoh nyata dari alam ini. Namun alam mitsal ini terbagi pada dua bagian. "Terpisah" dan "Menyatu". Yakni terpisah dari dan menyatu pada manusia. Kedudukan alam mitsal-terpisah di atas alam materi (maksudnya derajat, dan bukan tempat). Sedang kedudukan alam mitsal-menyatu ada dalam diri manusia.   
Ketika manusia melamunkan dalam khayalannya sesuatu yang benar dan / atau bermimpi yang benar, maka ia telah berhubungan dengan alam mitsal yang terpisah yang berada di balik alam materi ini. Dan kalau ia melamunkan yang salah dan / atau bermimpi yang tidak benar, maka ia tidak keluar dari dirinya sendiri. Yang salah inilah alam mitsal menyatu.
Sementara alam akal adalah suatu keberadaan yang hanya memiliki substansi tanpa dibarengi beban. Apalagi sifat-sifat beban itu. Perubahannya, seperti dari tiada (nisbi) menuju ada adalah benar-benar tanpa proses apapun. Benar-benar "kun fayakun". Ia juga disebut 'alamu al-amr (alam amr, lihat al-Quran surat Yasiin 82). Inilah makhluk tanpa perantara Allah SWT. Selama jiwa dan akal manusia masih dipengaruhi dan memiliki bentuk-bentuk sifat materi ia tidak akan pernah dapat memasuki alam akal ini.
Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setelah martabat ke-Tuhanan, makhluk pertama yang dicipta adalah akal. Dengan akal, Allah mencipta mitsal. Serta dengan akal dan mitsal, Allah mencipta alam materi. Proses ini dikatakan "Proses Turun" (inna lillahi). Sedang kembalinya semua (ma'ad) kepada Allah dikatakan sebagai "Proses Naik" (wa inna ilaihi roji'un).
Setelah kita miliki gambaran sepintas mengenai tatanan keberadaan, mari kita simak maksud dari Empat Perjalanan. Empat Perjalanan adalah tahapan yang dibuat oleh para urafa' sesuai dengan mukasyafah (syuhud) mereka. Karena itu, Empat Perjalanan ini adalah perjalanan syuhud dan menjadi. Bukan perjalanan fikir dan mengetahui.
Namun Mulla Shadra telah membuat terobosan sehingga menjadi jelas bahwa Empat Perjalanan itu juga milik akal manusia. Dan syuhud-irfani setelah itu – dapat dibuktikan dengan rumusan filsafati. Oleh karena itu Mulla  Shadra berkata bahwa : "Ketahuilah bahwa para pesuluk (pencari hakikat dengan syuhud dan menjadi), Urafa' (yang telah sampai ke tujuan walaupun tujuan yang paling rendah dari hakikat yang tidak terbatas) dan aulia (yang minimalnya telah menyelesaikan perjalanan tahap pertama) memiliki Empat Perjalanan ….. Dan bukuku ini (asfar) kususun sesuai dengan perjalanan mereka dalam cahaya-cahaya dan nyata." (al-Asfaru al-Arba'ah jilid 1 hal. 13).
Sementara Empat Perjalanan itu adalah sebagai berikut :
1.  Perjalanan dari Makhluk ke Al-Haq
            Dalam tahapan pertama ini seseorang harus berjalan dengan meninggalkan alam materi menuju mitsal. Dari alam mitsal menuju ke alam akal. Serta dari alam akal menuju al-Haq. Maksud dari meninggalkan di sini adalah meninggalkan dalam hati. Artinya rasa suka dan senang kepada selain Allah dihilangkan dari hati. Sehingga hati menjadi bersih dari selain-Nya.
            Sudah tentu selama manusia masih memiliki rasa suka kepada materi – sekecil apapun – maka ia tidak akan pernah mampu memasuki alam mitsal secara sempurna. Ia boleh makan dan minum, bertempat dan lain sebagainya, namun hatinya harus dihampakan dari semua itu sehingga keluar dari sentuhan materi. Setelah itu ia berhak secara sempurna memasuki alam mitsal dimana surga berada dan tersimpan seluruh berita alam materi.
            Yang memasuki alam mitsal, khususnya yang sempurna, akan mengetahui seluruh rahasia alam materi baik yang telah terjadi, sedang atau akan terjadi. Sebab di sanalah terletak kitab "Qadha dan Qadar." Namun kitab ini tidak menentukan, melainkan mengetahui sebelum terjadi. Untuk meninggalkan alam ini hati seorang hamba harus dibersihkan dari sentuhan-sentuhan suka kepada segala keajaiban dan kenikmatan yang ada di dalamnya.
            Syuhud, mukasyafah, karomat, bidadari dan kenikmatan surga lainnya, mengerti rahasia alam materi – semua itu mesti dipandangnya sebagai cobaan. Bukan pemberian mutlak. Sebab mereka itulah yang disebut "hujuba al-Nur" (hijab-hijab dari cahaya) yang berada di balik materi (hijab kegelapan). Bukan malah bertengger di situ dan menjadi dukun dengan memakai nama wali. Bukan malah bermain akrobat dengan nama karomat. Bukan malah menyembuhkan penyakit orang sementara ia masih sakit. Bukan malah membuka perguruan sementara perjalanannya tidak berujung.
            Kalau seorang hamba mampu melenyapkan rasa sukanya kepada semua itu, ia akan segera memasuki tahap akhir dari perjalanan pertama ini. Yaitu memasuki alam akal. Alam dimana beban dan bentuk serta sifat-sifat lain materi tidak dapat mengiringi. Kalau hakikat manusia di alam mitsal berbentuk sekalipun tidak berbeban, maka hakikat manusia di alam akal sudah tidak lagi berbentuk. Ia bertangan dan berkaki, tapi tidak dengan bentuk. Bertangan dan berkaki tidak di tempat yang berbeda. Hakikat tangannya adalah hakikat kaki, kepala dan semua anggota tubuhnya. Dan begitu sebaliknya.
            Alam inilah yang dijuluki dengan "Jannatu al-Muqarrabin" (surga orang-orang yang didekatkan) yang letaknya di atas "Surga Mukminin" (surga orang-orang beriman). Kelezatan alam ini tidak ada bandingannya lagi. Namun seorang hamba harus pula meninggalkannya untuk memasuki kelezatan yang paling hakiki. Yaitu "washlat" (sampai, menyatu, kawin) dengan al-Haq (wa ilahi al-mashir) QS : 5 / 18. Yakni menjadi Mazhhar nama Allah SWT.
            Kalau seorang hamba mampu melakukan semua itu dan dengan selamat telah sampai pada al-Haq, maka kala itulah ia telah memenuhi syarat paling minim untuk disebut sebagai "wali Allah". Walaupun pangkat ini baginya tidak penting dan lezat lagi. Karena kelezatan washlat melebihi segala-galanya.
            Ketika hadits berkata : "Cinta dunia pangkal segala kesalahan" bukan maknanya cinta harta dan alam materi lainnya. Melainkan suka dan / atau cinta kepada yang rendah (dunya dari dani yang artinya rendah). Sedang selain al-Haq adalah rendah dan hakikat kerendahan. Materi, surga dan jannatu al-muqarrabin adalah penghalang semata. Karena itu syetan dengan lantang dan meyakinkan berkata : "Aku bersumpah dengan ke-Agungan-Mu maka sungguh-sungguh akan kusesatkan mereka (manusia) kecuali hamba-hamba-Mu yang tergolong mukhlasin (sangat ikhlas)."
            Menyukai yang halal, ilmu-ilmu ghaib, karomat, surga dan selainnya merupakan rangsangan dan anjuran dari Allah bagi mukminin biasa dan merupakan ibadah. Firman-Nya : "Dan makanlah dari apa-apa yang telah diberikan Allah kepada kalian sebagai sesuatu yang halal dan baik." (QS : 20 / 81).
            "Dan Allah menyeru kepada surga dan ampunan dengan ijin-Nya." (QS : 2 / 221).
            Dalam penyembahan golongan ini terdapat pamrih. Sekalipun pamrih-pamrih itu dianjurkan Allah SWT karena memang sesuai dengan tingkatan golongan ini. Karena itu golongan ini paling tinggi disebut "mukhlis." Yakni orang-orang yang ikhlas dalam menyembah Allah namun ingin balasan surga-Nya (dalam hadits disebut "ibadah pedagang") atau karena ingin dijauhkan dari siksa neraka-Nya ("ibadah seorang budak").
            Terdapatnya kecondongan dalam hati golongan ini kepada selain Allah SWT membuat syetan dapat bergerak dengan jebakan-jebakannya. Karena syetan tahu akan maunya. Pengetahuannya itu didapat karena syetan ada di alam mitsal dan bahkan pernah menghuni surga. Karenanya pancingan-pancingannya dapat mengena. Saking sulitnya membedakan surga dan syuhud hakiki dengan yang palsu.
            Suka akan harga halal dan surga merupakan medan bagi operasi syetan sekalipun merupakan ibadah bagi kaum mukminin. Dengan memancing kepada yang halal dan surga manusia bisa ditarik ke dalam yang haram atau neraka. Seperti sukanya Nabi Adam as. kepada kekekalan atau malaikat dimana hal itu tidak diharamkan Allah melainkan kurang disukai-Nya saja – karena di surga tidak ada syariat – telah membuatnya melanggar larangan Tuhannya. (QS : al-A'raf / 20). Karena itu syetan dengan pasti mengatakan bahwa golongan ini dan apalagi golongan-golongan di bawahnya, seperti orang-orang riya', kafir, munafik dan lainnya dapat dikalahkannya. Dan Allah SWT pun berfirman : "Dan tidaklah mereka beriman kepada Allah melainkan kebanyakan mereka menyekutukannya." (QS : Yusuf / 106).
            Sekutu di sini bukan mengambil selain Tuhan sebagai Tuhan. Karena Allah sendiri mengakui iman mereka (….. beriman kepada Allah …..). Maksud sekutu di sini adalah sekutu dalam kesukaan dan terlebih kecintaan. Sedangkan hati hanya untuk Allah dan tidak boleh dijadikan singgahan selain-Nya. Karena Allah berfirman : "Allah tidak mencipta dua hati dalam dada seseorang." (QS : Ahzab / 4).
            Pamrih yang dianjurkan itulah yang dapat membuat mereka tergelincir. Sedang mengapa Allah merangsang mereka kepada pamrih tersebut? Jawabnya sudah jelas bahwa : Pertama, mereka memang tidak akan pernah menyembah dan mengabdi / taat  kepada Allah dengan tanpa adanya ganjaran-ganjaran atau ancaman siksa. Entah apa jadinya kalau shalat lima kali sehari tidak diwajibkan dan pergaulan bebas dimakruhkan. Kedua, karena golongan ini belum sampai pada suatu tingkatan dimana kecintaan kepada suatu kebenaran dan hakikat yang paling tinggi (Allah) merupakan dambaan dan tujuan satu-satunya.
            Sebabnya sudah jelas bahwa Allah sama sekali tidak akan bertambah sempurna dengan sembahan siapapun, Ia Maha Kaya. Oleh karenanya segala sembahan benar-benar akan kembali kepada si penyembah sendiri. Yaitu mengantarnya kepada kebaikan dan kesempurnaan yang semestinya. Sekalipun karena kebaikan itu tidak ada batasannya, maka mestilah ada titik minimalnya. Surga itulah kebaikan yang paling minimal di akhirat nanti. Maka kalaulah mereka atau segolongan manusia tidak mau mencapai kebaikan yang paling tinggi, maka menganjurkan mereka untuk memasuki surga adalah ajakan yang sangat bijaksana ketimbang membiarkan mereka menjadi manusia yang syetani dan berakhir ke neraka. Ketimbang membiarkan mereka merusak alam ciptaan-Nya, kemasyarakatan dan etika manusia.
            Kalau matahari berkata : "Berjemurlah kamu di waktu pagi supaya sehat", maka segala jerih payah yang dilakukan manusia tidak akan menguntungkan matahari. Oleh karena Allah SWT kesempurnaan yang hakiki dan tidak terbatas, maka Ia memerintahkan manusia untuk menyembah dan mengabdi-Nya dimana dengan semua itu akan membuat manusia dekat dengan Tuhannya dan itu berarti manusia bertambah sempurna.
            Bagi para aulia dan pesuluk, meletakkan selain Allah dalam hati adalah dosa besar. Sampai-sampai mereka berkata : "Keberadaanmu merupakan dosa yang tidak dapat dibandingkan kebesarannya dengan dosa-dosa yang lain."
            Yakni janganlah menyukai selain-Nya – sekalipun dirimu sendiri – mengakui keberadaanmu di hadapan keberadaan yang tidak terbatas saja sudah dosa besar.
            Kaum ini (aulia) disebut sebagai mukhlashin atau orang-orang bebas. Golongan ini sama sekali tidak menginginkan apapun dalam menyembah kecuali Allah SWT. Mereka tinggalkan kesukaan kepada dunia materi, dunia surga dan karomat, syuhud dan lain-lain. Mereka tidak hanya lelah dari ilmu madrasah (teori) dan argumentasi. Tapi juga dari syuhud, khudhur, karomat dan bidadari. Dan bahkan dari dirinya sendiri. Karena semua itu adalah hijab bagi mengenal yang Maha Tinggi. Yakni hijab nur. (Munajat Sya'baniyah).
            Karena golongan ini hanya mencari Allah, maka syetan tidak bisa memancingnya dengan apapun. Karena jangankan Allah yang dapat dikenali oleh syetan, alam akal saja tidak dapat ia kenali. Karena itu ia tidak bisa berbuat apapun di alam sana. Bahkan jangankan berbuat, berkhayal saja tentang alam itu tidak akan pernah mampu. Alam itu merupakan suatu alam yang sangat gelap baginya. Dengan demikian bagaimana mungkin ia mampu bertingkah di sana. Bagaimana mungkin ia dapat bertingkah di dalam dada para aulia yang telah menyatu dengan alam itu.
            Tentu saja ketika seseorang benar-benar hanya menginginkan-Nya. Sebab kalau tidak maka ia akan mencari-Nya dengan cara yang diinginkannya sendiri. Syariat yang merupakan mukadimah thariqat akan ditinggalkannya dengan alasan sudah sampai ke thariqat. Begitu pula thariqat, akan ditinggalkannya dengan alasan sudah mencapai hakikat. Padahal syariat datang dari thariqat, dan thariqat datang dari hakikat. Hakikat menyebabkan thariqat dan thariqat menyebabkan syariat. Satu sama lain saling mengikat. Oleh karenanya, untuk sampai pada thariqat mesti melalui syariat, dan untuk sampai kepada hakikat mesti melalui thariqat. Namun apakah yang sampai ke thariqat boleh meninggalkan syariat? Dan yang sampai ke hakikat boleh meninggalkan thariqat?
            Jawabnya jelas tidak boleh. Bahkan mustahil. Karena yang atas penyebab yang di bawah. Oleh sebab itu jika jiwa, hati dan ruh manusia sampai kepada tingkatan yang lebih tinggi maka bukan lagi dipertanyakan apakah ia boleh meninggalkan syariat, akan tetapi mustahil. Sebab jika jiwanya semakin dekat dengan Tuhan maka badannya akan semakin taat. Kalau dulu -- semasih jauh dengan Tuhannya -- ia sesekali melakukan maksiat, maka sekarang -- ketika ia selalu melihat Tuhan di depannya dan bahkan di hatinya -- jangankan maksiat dan meninggalkan syariat, berkeinginan untuk bermaksiat atau mengumpat orang benar di hatinya saja sudah merupakan dosa besar baginya.
            Hal di atas sama dengan firman Allah SWT yang berbunyi : "Sembahlah Tuhanmu sampai kau yakin." (QS. 15 / 99)
            Nah, apakah kalau sudah yakin tentang kebenaran Tuhan dan syariat-Nya, seseorang boleh meninggalkan penyembahan? Tidak. Sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya. Kalau dulu ia menyembah karena beriman saja sehingga ia takut neraka dan / atau tamak kepada surga, sekarang – ketika ia sampai kepada maqom (derajat) yakin – maka ia akan menyembah-Nya karena yakin dan cintanya. Bagaimana mungkin ketika ia yakin akan Tuhan, kebenaran surga dan neraka, kebenaran al-Qur'an, kebenaran hukum Tuhan, yang taat ke surga dan yang maksiat ke neraka, diturunkannya syariat oleh Tuhan bukan untuk main-main melainkan datang dari hikmah-Nya dan demi kebaikan manusia, maka ia sendiri setelah itu meninggalkan penyembahan?
            Mukhlashin ini tidak bisa digoda oleh syetan dan syetan sendiri telah mengetahui sebelumnya. Karena itu ia menyerah sebelum cucu Adam as dilahirkan : "….. kecuali hamba-hamba-Mu yang tergolong mukhlasin."
            Orang yang sampai ke tingkat ini, yakni dalam peristilahan "sampai kepada Allah" atau "Fana" dengan meninggalkan segala kesukaan kepada selain-Nya sebagaimana telah diterangkan di atas, berarti ia telah menyelesaikan perjalanan (safar) pertama. Dan baru dapat disebut "wali Allah". Walaupun dalam tingkatan yang paling bawah. Tapi dilihat dari tempat kita – khususnya kami – maqom ini adalah maqom yang hampir mustahil untuk dicapai. Semoga kita semua ditambahi karunia hidayah-Nya. Amin ya robbalalamin. []
       

2 komentar:

  1. Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
    Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dlm kitab Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempit ruang rubrik ini mk hanya bisa ternukil sebagian saja.
    1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tdk pernah melihat kaum yg lbh dungu dari Syi’ah.”
    2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika dita tentang seorang yg mencela Abu Bakr dan ‘Umar beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalati ?” Beliau berkata: “Tidak tiada kehormatan .”
    3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i telah disebut di atas.
    4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tdk melihat dia itu orang Islam.”
    5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara . Mereka tdk boleh diberi salam tdk dikunjungi ketika sakit tdk dinikahkan tdk dijadikan saksi dan tdk dimakan sembelihan mereka.”
    6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yg mencela salah satu dari shahabat Rasulullah  mk ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu krn Rasul bagi kita haq dan Al Qur’an haq dan sesungguh yg menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adl para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para saksi kita dgn tujuan utk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka lbh pantas utk dicela dan mereka adl zanadiqah.”
    Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah mudah-mudahan bisa menjadi pelita dlm kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaranAmin.

    Sumber: www.asysyariah.com

    BalasHapus
  2. Sabda Nabi" wahai Ali engkau dan syiahmua adalah khairul Bariyah"

    BalasHapus